Renungan Harian & Leadership Kristen
| Renungan | Bina | Bio | Buku | Doa | E-JEMMi | Kisah | Konsel | Leadership | Wanita | Humor |

Sunday, October 7, 2012

[i-kan-binaguru] [SEA 4/14 window conference] Sharing 3: Contextualize & Network

---------------------------------------------------------------------   e-BinaGuru -- MILIS DISKUSI PARA PELAYAN ANAK DAN GURU SEKOLAH MINGGU     ---------------------------------------------------------------------   
Awalnya, saya ragu saat memilih track (kalau tidak salah ada 11 pilihan?). Di satu sisi saya tergoda ingin ikut track Gen Y (pemuda) - karena saya sedang fokus dalam dunia anak muda belakangan ini, dengan tujuan untuk mempersiapkan generasi yang siap melayani anak2 ... coba bayangkan, kalau kita yang sudah mulai paruh baya ini tidak mempersiapkan Gen Y untuk pelayanan anak, maka siapa yang akan jadi penerus kita saat kita sudah jadi kakek nenek? Tapi di sisi yang lain, saya juga tidak bisa menyangkali bahwa kehidupan saya ada di seputar dunia pendidikan ... Akhirnya, saya memilih track: pendidikan! Dan saya tidak menyesal masuk ke track ini.

Berikut adalah alasannya:

1. Saya sempat bikin heboh :-) awalnya di track pendidikan, trus berlanjut waktu country group discussion he3x ...
2. Dan karena pandangan saya yang kontroversial itu (yang menimbulkan kehebohan) saya jadi berkenalan dengan, serta makin dikenal oleh, lebih banyak orang :-)
3. Di luar dugaan saya, si fasilitator Gen Y (dari Philipinne) sempat ngobrol dengan saya dan kami akan keep in touch untuk membahas isu2 Gen Y lebih lanjut.

Jadi .. saya akhirnya dapat keduanya dengan cara yang berbeda :-)

Waktu di track pendidikan, saya bertemu dengan 2 rekan dari Kamboja, dan 1 rekan dari Compassion Menado. Saat bertukar anggota kelompok, saya bertemu dengan 1 rekan dari Jakarta (presenter sekaligus pendiri sebuah organisasi pelayanan anak), dan 1 lagi dari Thailand. Dari sepanjang sesi diskusi tsb dan dari mendengar teman2 lain yang mengutarakan masalahnya, kelompok saya YAKIN bahwa isu utama yang tengah dihadapi oleh dunia pendidikan kita saat ini, atau oleh orang2 yang terlibat di lapangan dalam dunia pendidikan adalah: perlunya kontekstualisasi dan networking.

Pertama, perlunya KONTEKSTUALISASI.
Tidak mungkin kita menggunakan standard yang sama untuk melayani anak2 di semua tempat. Kebutuhan anak2 di Papua berbeda dengan kebutuhan anak2 di Jakarta. Di beberapa wilayah di Indonesia, khususnya yang masih sangat terpencil, dimana sinyal HP saja sudah didapat, apalagi akses internet - bagaimana mungkin harus diajar dengan menggunakan kurikulum seperti yang digunakan oleh murid2 di kota2 besar seperti Jakarta?

Salah satu statement saya yang sangat kontroversial waktu itu adalah: buang kurikulum nasional! he3x ... Kadang2 kita perlu menggunakan statement yang kontroversial untuk mendapatkan perhatian dan membuat orang lain "terbangun" - biar bisa fokus pada apa yang hendak kita sampaikan :-)

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kurikulum nasional. Itu baik. Namun, yang hendak saya sampaikan pada waktu itu adalah, sebagai praktisi pendidikan di lapangan, tolong LIHAT dulu, itu anak2 butuhnya apa, hidup di tengah lingkungan seperti apa, tantangannya apa, masalahnya apa. Tidak ada 1 obat mujarab untuk menyembuhkan segala penyakit.

Saya sempat menceritakan pengalaman saya bekerja sama dengan para mahasiswa di Singapore, yang karena niat baik mereka, mencoba melayani anak2 di daerah kepulauan Riau. Ada banyak pulau2 kecil di sana, dimana boleh dikatakan, hampir semua orang dewasa di sana tidak bisa membaca. Mereka ingin mengajar anak2 di sana untuk membaca. Pekerjaan utama para orang tua (orang dewasa) di sana adalah: nelayan.

Saya sempat "ribut" dengan koordinator mereka (kebetulan dia adalah teman dekat saya sewaktu masih kuliah dulu). Saya katakan terus terang, bahkan mungkin dengan nada agak kasar :-) maklum, bonek dari suroboyo hehehehe ... "Jangan tarik anak keluar dari akar budaya mereka! Kamu tidak menolong mereka dengan "menyekolahkan" mereka! Kamu justru akan membunuh anak2 tsb dan orang tua mereka. Coba lihat, sebelum kamu datang, meskipun mereka tidak bisa membaca, masih bisa hidup dari menangkap ikan di laut. Sekarang, kamu dan tim datang, mendirikan sekolah, menarik anak2 dari keluarga, dari komunitas nelayan, untuk masuk sekolah. Hasilnya nanti, apa??? Mereka malah ga bisa menangkap ikan! Mau makan apa? Sekolah pun mereka pas-pasan, mana bisa bersaing dengan yang ada di kota. Kalaupun lulus SMA, melamar kerja di kota, cuma bisa jadi pegawai rendahan !! Sementara itu, orang tua mereka sudah mulai tua, siapa yang memberi makan mereka di kampung halaman mereka? Karena mereka sekarang sudah tidak bisa lagi menjadi nelayan, gara2 terlalu lama makan bangku sekolahan !!!"

Nah, di sinilah perlunya pendidikan yang ter-KONTEKSTUALISASI.
Alih2 menarik anak dari keluarga dan komunitasnya untuk "disekolahkan", mengapa kita tidak mendesain pendidikan dengan kurikulum yang berbasiskan lingkungan hidup mereka? Misalnya: untuk anak2 di kepulauan Riau, kita bisa menyajikan kurikulum berbasiskan KELAUTAN. Kita melatih anak2 tsb untuk lebih produktif di dalam memanfaatkan hasil2 laut, alam mereka. Sementara kita menambah wawasan mereka ttg laut dan mungkin berbagai upaya pelestarian serta budi daya laut. Kita melatih para pemuda untuk menjadi pengusaha di bidang hasil2 laut, menjalankan bisnis sendiri. Tidak lulus SD tidak apa! Tidak dapat ijazah nasional TIDAK APA !! yang penting ini anak2 nantinya bisa hidup, bisa meningkat kualitas hidupnya, bisa keluar dari kemiskinan, dan diberdayakan - bukan karena dikasih sumbangan terus menerus.

Tugas utama pendidikan adalah EMPOWERING, memberdayakan. Bukan seperti Sinterklaas yang kasih2 hadiah. Lalu, untuk anak2 di pedalaman Kalimantan misalnya, barangkali kurikulum yang tepat bagi mereka adalah tentang kehutanan. Ayo kita ajarkan mereka untuk memberdayakan hutan, sumber alam dan sumber hidup mereka. Mulailah pendidikan dengan habitat / lingkungan dimana mereka tinggal. Manfaatkan, lestarikan, kembangkan, dan rancanglah kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Pendidikan tidak identik dengan sekolah! Pendidikan juga bukan urusan nilai, naik kelas, ato sekedar mendapat pengakuan. Pendidikan seharusnyalah mampu memberdayakan orang yang memperoleh pendidikan tsb menjadi individu yang mandiri, berkembang, dan berbuah. Gak masalah kalau gak dapat ijazah :-) Buat apa dapat ijazah kalau akhirnya juga hidup "ndompleng" (menumpang) orang lain, ga bisa cari kerja sendiri, ga bisa menghidupi diri sendiri, malah menyusahkan masyarakat. Cara berpikir kita ttg pendidikan harus BERUBAH !!! Pendidikan tidak identik dengan sekolah !!! Di track ini kita bicara pendidikan, bukan sekolah.

Tapi, tidak semua peserta diskusi (terutama waktu dalam country group discussion) setuju dengan pandangan saya ini he3x .. Saya sempat didebat oleh 2 ibu karena mereka berpendapat untuk tetap menggunakan kurikulum nasional dan menjalankan sekolah "seperti apa adanya" saat ini. Yah, kemudian terjadilah sedikit keributan ... sampai kelompok2 lain jadi ikut mendengarkan :-)

Usai acara itu, banyak sekali orang yang malah ingin berkenalan dengan saya. Sebagian besar adalah orang2 yang memang selama ini sudah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan anak, apalagi yang melayani anak2 di daerah terpencil ... Mereka setuju sekali dengan ide saya tsb. Bahkan ada yang langsung ingin mengundang saya ke salah satu daerah di Papua yang amat sangat terpencil ... karena untuk menuju area tsb, mereka harus menggunakan pesawat charter milik misionaris asing, dan itu harganya utk sekali charter adalah Rp 20 juta. Suku tsb masih sangat terasing, tingkat kematian bayi dan ibu tinggi sekali, sekitar 50%. Lah, bagaimana bisa kurikulum nasional mau dimasukkan di daerah seperti ini? Mereka butuh kurikulum yang dibuat KHUSUS bagi mereka, untuk membantu mereka mengatasi masalah hidup di sana, dan bagaimana memberdayakan mereka agar kualitas hidupnya meningkat. Saya juga bertemu dengan rekan2 lain yang sama geregetannya dengan saya - bahwa harus ada langkah strategik yang tepat untuk melayani anak2 lewat dunia pendidikan - tidak bisa dengan sekedar mendirikan sekolah (apalagi dengan mencomot kurikulum yang standard).

Kedua, pentingnya NETWORK.
Fasilitator kami di track pendidikan adalah seorang yang sudah berhasil mengembangkan program pelatihan guru yang luar biasa bagusnya. Tapi ... sempat ditanya oleh beberapa rekan yang selama ini fokus pada pelayanan di daerah2, dimana mayoritas yang dihadapi adalah kalangan ekonomi tidak mampu. Terus terang, waktu itu saya melihat wajah2 kurang puas dari rekan2 ini dan saya bisa memahami. Memang biaya pendidikan itu mahal, apalagi seperti yang disharingkan oleh fasilitator kami di track ini. Kira2 untuk program pelatihan guru yang bagus tsb dibutuhkan biaya Rp 20 juta / tahun / 1 orang. Lah .. teman2 yang melayani di daerah tentu bisa shock bila diminta untuk menyediakan dana tsb.

Oleh sebab itu, sekali lagi, di sini tetap KONTEKSTUALISASI diperlukan. Pelatihan guru tidak harus dipusatkan di satu tempat, bukan? Tidak harus di tempat seperti yang telah disharingkan oleh fasilitator kami, bukan? Meskipun itu sangat sangat bagus dan mungkin sangat sangat ideal. Setiap pelatihan tentu didesain untuk tujuan yang berbeda-beda, jadi tidak ada, sekali lagi, 1 obat mujarab, yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit.

Di sinilah peran NETWORKING. Kita tidak bisa mengerjakan segala sesuatunya sendirian. Kita butuh teman2 kita, rekan2 sepelayanan lainnya. Contoh sederhana. Waktu breakfast, saya duduk bersama rekan dari Sumbawa. Dia kehabisan pulsa dan bingung mesti beli dimana. Saya bilang, duduk saja, sebentar saya SMS teman saya di Bandung. Dan dalam hitungan menit, pulsa sudah masuk. Rekan sekamar saya curhat soal betapa sulitnya mendapatkan buku2 untuk dia berikan kepada teman2 yang ada di daerah, apalagi yang pelosok. Saya bilang, oke, nanti saya kenalkan dengan teman saya yang memang pelayanannya adalah membagikan buku2 secara GRATISSSS. Nah, inilah contoh kekuatan dari networking :-)

Ada begitu banyak hal yang bisa kita kerjakan bila kita memiliki networking  yang luas.

Saya senang Pak Lukas barusan share soal komunitas "sekolah minggu" di facebook. Lalu barusan ada e-mail yang masuk ke milis kita ttg JPA (jaringan pelayanan anak). Ini adalah bentuk komunitas dimana kita bisa saling berkenalan, saling menguatkan, saling berbagi informasi, dan saling membantu satu sama lain. Bukan cuma soal jumlah membernya ada berapa, siapa moderator atau pemimpinnya, tetapi bagaimana anggota2 dalam komunitas tsb dapat benar2 HIDUP dan memanfaatkan komunitas tsb untuk bersama-sama mengembangkan pelayanan yang Tuhan percayakan pada kita.

Apa gunanya, misalnya, saya hadir dalam SEA 4/14 window conference, bertemu dengan banyak orang, berkenalan dg teman2 dari negara2 lain, tapi setelah itu TIDAK ADA follow up? tidak ada action plan? tidak ada sesuatu yang kemudian digagas atau dikerjakan bersama? Itu sama saja dengan pelesir :-)

Memang acara tsb lebih dititikberatkan pada sosialisasi, awareness tentang 4/14 window, tapi bagi saya (dan beberapa teman lain yang hadir dalam conference tsb) kegiatan semacam ini jangan hanya menjadi event, tapi benar2 harus ditindaklanjuti hingga benar2 ada movement, dan antar peserta, ada networking, kerjasama, untuk makin memajukan pelayanan - baik di tempat masing2, atau tidak menutup kemungkinan untuk pelayanan bersama. Inilah yang ada di benak saya bahkan sejak sebelum menghadiri conference tsb.

Dan saya tidak mungkin melakukannya seorang diri, bukan?
It took a village, demikian pepatah Afrika, yang dipinjam oleh Hillary Clinton, saat bicara ttg pentingnya pendidikan anak. Dibutuhkan orang sekampung untuk membesarkan anak. Dan, benar !! dibutuhkan seluruh "warga kampung" milis e-BG untuk menggarap pelayanan anak. Kita sudah mengawalinya dengan jaringan nasional, kalau Tuhan berkenan, barangkali ini saatnya kita mulai menjangkau Asia Tenggara, seluruh Asia, dan dunia. Let's take a baby step :-) Kita mulai dengan apa yang ada di depan kita saat ini. Apa yang Tuhan percayakan pada kita, pintu mana yang Tuhan bukakan, ke situlah kita akan melangkah.

Selama saya masih diberi kesempatan untuk melayani di milis ini ... maka saya akan terus melibatkan seluruh "warga kampung" e-BG :-)
Jadi, jangan bosen2 kalo moderator nya lagi cerewet yah!

OK ... untuk sementara sampai di sini dulu. Kalau ntar kepikir apa lagi lainnya, pasti akan saya sharingkan.
Ditunggu tanggapan teman2 semua.

GBU all,
Moderator (meilania).

---------------------------------------------------------------------    Bergabung kirim e-mail ke:         Berhenti kirim e-mail ke:        Untuk arsip: http://hub.xc.org/scripts/lyris.pl?enter=i-kan-BinaGuru   ---------------------------------------------------------------------   
Miliki Blog atau Website Sendiri
Dapatkan Panduannya
Hubungi : 0813 5643 8312 - 0857 5737 8151 - 0431 8013154
Format SMS : Panduan Isi Pesan
Klik Demo / Contoh & Tutor Tingkat Menengah
atau pilih template :
Klik, Pilih & Pesan Sekarang / Contoh & Tutor Tingkat Menengah
G R A T I S
The Christian Blog @ 2011 - 2012
Designer : Joni Wawoh, SH
hostgator promo