KISAH -- Sandiwara Malam Kudus Buatan Sendiri
Edisi 256, 21 Desember 2011
Shalom,
Sudahkah Anda mempersiapkan diri menjelang perayaan hari kelahiran Sang Juru Selamat kita? Persiapan di sini tidak hanya berbicara tentang berbagai macam perayaan Hari Natal, namun berbicara tentang kesiapan hati kita untuk merayakan lahirnya Sang Juru Selamat. Dalam edisi ini, kita akan membaca kisah seorang perempuan Kristen dalam menghadapi Natal, ketika penyakit datang menghadang. Kita akan melihat bagaimana Tuhan menggerakkannya untuk melakukan sesuatu yang "di luar kebiasaan", namun berdampak secara luar biasa bagi keluarganya. Kita juga akan mendoakan beberapa pokok doa pada bagian akhir kesaksian ini.
Edisi 256, 21 Desember 2011
Shalom,
Sudahkah Anda mempersiapkan diri menjelang perayaan hari kelahiran Sang Juru Selamat kita? Persiapan di sini tidak hanya berbicara tentang berbagai macam perayaan Hari Natal, namun berbicara tentang kesiapan hati kita untuk merayakan lahirnya Sang Juru Selamat. Dalam edisi ini, kita akan membaca kisah seorang perempuan Kristen dalam menghadapi Natal, ketika penyakit datang menghadang. Kita akan melihat bagaimana Tuhan menggerakkannya untuk melakukan sesuatu yang "di luar kebiasaan", namun berdampak secara luar biasa bagi keluarganya. Kita juga akan mendoakan beberapa pokok doa pada bagian akhir kesaksian ini.
Tidak lupa, segenap redaksi KISAH mengucapkan:
"SELAMAT NATAL 2011 dan TAHUN BARU 2012"
Tuhan Yesus memberkati!
Redaksi tamu KISAH,
Rento Ari Nugroho
< http://kesaksian.sabda.org/ >
SANDIWARA MALAM KUDUS BUATAN SENDIRI
Bagaimana sampai saya bisa memunyai gagasan untuk mengadakan sandiwara Natal yang dimainkan oleh seluruh anggota keluarga? Saya benar-benar tidak tahu. Setahu saya, waktu gagasan itu muncul, saya merasa saya tidak akan pernah dapat merayakan Natal lagi.
Waktu itu bulan Juni. Saya baru saja menjalani operasi kanker yang kurang berhasil. Setiap bulan, saya harus menempuh jarak sejauh dua ratus lima puluh mil ke Houston untuk menjalani kemoterapi, dan ketika saya pulang ke rumah, saya merasa sangat kesakitan.
Hari-hari berjalan begitu lambat. Suami saya, Gene, bekerja sebagai teknisi telepon, dan kami tinggal di puncak bukit di sebuah desa pertanian. Daerah itu indah, tetapi saya tidak memunyai tenaga untuk berjalan-jalan berkeliling. Saya hanya bisa duduk di dekat jendela dan mengamati kuda kami yang berlari sambil melompat, dari lumbung ke pohon murbei untuk berteduh. Selera makan saya hilang, rambut saya rontok. Tetapi yang paling menyedihkan, kadang-kadang saya merasa sangat kesakitan untuk bisa merawat diri, sehingga saya tidak peduli apakah saya bisa sehat kembali atau tidak.
Keluarga saya berusaha membangkitkan semangat saya, tetapi rupanya saya tidak dapat memusatkan perhatian pada apa pun. Lalu saya mencoba untuk memperbaiki sikap saya sendiri. "Hilangkan pikiran yang sedih seperti itu, Ella Ruth," kata saya dalam hati. "Mulailah memikirkan hal-hal yang baik dan kreatif." Waktu saya memikirkan apa yang baik dan kreatif, saya berpikir tentang Natal -- masa yang paling saya sukai sepanjang tahun.
Seandainya saja, pikir saya, saya dapat merasakan bahwa semakin hari, semakin dekat kita kepada Natal.
Tetapi apa yang dapat saya lakukan? Mulai berbelanja lebih cepat untuk Natal? Pada musim panas seperti ini? Ah, lucu sekali. Yah, mungkin saja saya dapat merencanakan suatu perayaan khusus yang dapat mengikutsertakan seluruh anggota keluarga saya. Tentu saja, perayaan ini juga harus memuliakan kelahiran Yesus. Saya pernah membaca pasien kanker dianjurkan untuk memiliki sasaran, dan memuliakan Kristus dalam perayaan Natal ini menjadi salah satu sasaran saya.
Sebenarnya, saya ingin mempertunjukkan cerita Natal kepada cucu-cucu saya. Mungkin yang paling sesuai untuk itu ialah sandiwara Natal.
Ya! Tetapi bagaimana? Di mana? Dengan apa? Pikiran dan tubuh saya lemah. Bagaimana saya dapat mempersiapkannya?
Saya berdoa, "Bapa, saya ingin memuliakan Engkau, tetapi Engkau harus menunjukkan kepada saya bagaimana caranya. Saya bahkan tidak tahu bagaimana harus memulainya."
Perlahan-lahan Tuhan mulai menuntun saya. Ketika memandang ke luar jendela, saya melihat kandang kami, dan berpikir, "Di sana!" Di sana tempat yang cocok untuk palungan, Ella Ruth.
Saya tahu sumber ceritanya -- diambil dari kitab Injil Lukas.
Lalu saya memikirkan peran apa saja yang sesuai untuk setiap anggota keluarga. Saya langsung ingat ada yang cocok berperan sebagai Maria. Anak perempuan saya, Kristi, sedang mengandung dan diperkirakan akan melahirkan bulan Februari nanti. Suaminya, Bobby, berjanggut, ia bisa menjadi Yusuf. Siapa yang menjadi malaikat dan gembala? Cucu-cucu saya.
Itu para pemeran yang saya susun. Tetapi apa yang akan kami lakukan? Berdiri mengelilingi kandang? Tidak. Saya harus mencari skenario yang sederhana, karena itu saya mempelajari Lukas pasal dua dan buku-buku tentang Natal untuk memancing gagasan-gagasan.
Kostum yang diperlukan? Apakah saya memunyai cukup tenaga untuk menyiapkannya? Saya tidak menginginkan bantuan orang lain. Saya ingin ini menjadi rahasia antara Tuhan dan saya.
"Persiapkan sedikit demi sedikit," saya mendengar Tuhan berkata, "Dan Aku akan menolongmu." Saya memang mempersiapkannya sedikit demi sedikit. Sore hari ketika saya memunyai banyak waktu, saya duduk di dekat koper tua kami yang terbuat dari kayu aras, membongkar barang-barang kenangan masa lalu yang manis.
Di koper itu ada ban leher lama yang dihiasi permata. Betapa anggun saya memakainya, ketika saya dan suami saya berpacaran. Sekarang ban leher itu bisa dipakai menjadi mahkota orang-orang majus. Selendang rajutan kombinasi warna hitam dan merah. Selendang ini dibuat dengan kasih sayang. Anak perempuan saya, Kristi, merajutnya untuk saya sebelum pernikahannya. Sekarang, selendang ini dapat menghangatkan seorang raja dari Timur. Pita rambut lama yang elastis, bila dijahit dengan handuk bekas, dapat dipakai menjadi hiasan kepala para gembala.
Rumah saya tampak hidup dan baru, semua benda yang ada di dalamnya dimanfaatkan.
Meskipun demikian, satu hari, ketika merombak sarung bantal menjadi baju gembala, tiba-tiba saya menjadi ragu-ragu. Apakah saya tidak mempermalukan diri saya sendiri? Bagaimana kalau anak-anak dan cucu-cucu saya menganggap gagasan ini bodoh dan konyol? Apakah nanti Jeremy, yang berumur enam tahun, melihat baju gembalanya yang terbuat dari sarung bantal dan berkata, "Lupakan saja?"
Tetapi semakin lama saya memikirkannya, saya semakin yakin bahwa keluarga saya -- bagaimanapun juga mereka, adalah sekelompok "pemain sandiwara" -- mau memainkannya dengan sungguh-sungguh. Itulah yang saya harapkan.
Sebulan sebelum liburan, saya membuka rahasia ini kepada suami saya, Gene. Saya memerlukan bantuannya untuk membuat bintang yang bersinar di sebelah timur Betlehem, dan ujung tongkat gembala yang terkait di ruang kerjanya. Ketika kami berkendaraan ke Houston untuk kemoterapi, ketakutan dan keheningan selama dalam perjalanan tidak lagi terasa terlalu mencekam. Gene dan saya membicarakan sandiwara itu sampai hal yang sekecil-kecilnya.
Lalu, tanpa saya sadari, liburan Natal sudah tiba. Saya meminta semua anggota keluarga berkumpul di rumah kami pada malam Natal. Mereka menduga ada sesuatu ketika saya menyuruh mereka memakai mantel.
Semuanya berjalan lancar sampai tepat sehari sebelumnya, hujan mulai turun dengan lebatnya. Apakah kami bisa sampai ke palungan di kandang? Dengan sedih saya mewarnai mahkota sang raja dan memandang ke luar, hujan turun seperti tercurah dari langit.
Tetapi waktu kami bangun di pagi harinya, sehari sebelum Natal, kami melihat langit yang bersih dan merasakan sejuknya angin dari utara. Menjelang sore, jalan yang menuju palungan sudah kering.
Selama makan malam, saya merasa sangat gembira, sampai saya hanya bisa makan sedikit saja. Waktu setiap orang mulai membersihkan perabotan, Gene dan saya saling mengedipkan mata memberi isyarat. Lalu suami saya menyelinap ke luar untuk menaruh bintang dan mempersiapkan semuanya di kandang.
Setelah selesai mencuci piring, semua orang berkumpul mengelilingi saya, menunggu saya membuka rahasia saya. Tetapi kembali saya merasa ragu-ragu. Apakah setiap orang nantinya akan mundur? Waktu membagikan pakaian dan cetakan naskah, saya tidak berani melihat bagaimana reaksi setiap orang. Kemudian, anak laki-laki saya Mike berkata, "Bu, sudah lama saya tidak melihat Ibu begitu bersemangat."
Saya merasa seperti diberi dorongan yang besar. Ketika mereka sudah berganti pakaian, saya mulai membacakan Lukas pasal dua dan sandiwara itu akhirnya dimulai. Maria (yang sedang mengandung) dan Yusuf meninggalkan rumah, dan saya memberitahukan bahwa mereka pergi ke Betlehem. Karena tidak ada tempat di penginapan, mereka terpaksa bermalam di kandang. Dari jendela kami mengamati para gembala berjalan ke luar menuju ke padang. Menantu saya, Donna, memakai blus yang di "quilt" (dijahit dengan lapisan di bawahnya) dan hiasan kepada yang terbuat dari handuk. Anak-anaknya, Jeremy dan Kerrie, memakai sarung bantal yang sudah tua.
Lalu, "malaikat Tuhan (cucu saya yang paling tua) mendatangi mereka." Tracy dibungkus dengan seprai putih, dan pada rambutnya diselipkan lingkaran cahaya yang terbuat dari perada (kertas dari emas, perak, timah untuk perhiasan, tulisan, dan sebagainya). Saya mematikan lampu dan "kemuliaan Tuhan bersinar terang di sekeliling mereka". Lalu muncul malaikat-malaikat yang lain, Kellie (saudara kembar Kerrie) dan Stephanie yang masih kecil. Malaikat-malaikat menyampaikan "berita sukacita" kepada gembala-gembala, lalu mereka semua menuju palungan. Saya mengikuti mereka, meninggalkan orang-orang majus di dalam rumah.
Di dalam kandang, semuanya serba gelap, kecuali cahaya lembut yang menyinari Maria, Yusuf, dan bagi (sebuah boneka) dalam kain bedung [kain pembarut bayi, Red.]. Terlihat bayangan para malaikat, gembala, dan suami saya, ada yang berlutut dan ada yang berdiri, suasana di malam yang dingin itu benar-benar sunyi.
Saya berdiri di dekat pintu dan membaca kisah orang Majus dari Matius pasal dua. Bintang timur buatan suami saya, lampu senter yang disembunyikan di balik bintang yang terbuat dari karton, mulai bergerak dengan kabelnya menuju kandang. Orang-orang Majus (kedua anak saya, Ron dan Mike, dan teman kami, David Taylor) mengikuti bintang itu menyeberangi lapangan, sambil menyanyikan lagu "Kami Tiga Raja dari Timur".
Kemudian orang-orang Majus itu bergabung dengan kami. Mereka memakai jubah yang terbuat dari mantel mandi yang dihiasi permata yang gemerlapan, mempersembahkan hadiah-hadiah yang mereka bawa diiringi lagu "Malam Kudus" yang dinyanyikan oleh para malaikat. Lalu cucu-cucu saya menyanyikan lagu "Di sana, di Sebuah Palungan". Kami bersama-sama menyanyikan lagu "Kesukaan Bagi Dunia".
Semua berjalan seperti yang saya rencanakan. Kami semua terdiam merasakan kehangatan kehadiran Allah di kandang yang dingin dan gelap. Anak laki-laki saya yang sulung, Ron, memecahkan keheningan dengan berkata perlahan, "Saya ingin kita berdoa." Roh memimpin kami dalam doa pujian, lalu kami menyanyikan sebuah lagu Natal. Kami semua ingin lebih lama lagi merasakan kehangatan yang penuh kasih seperti ini.
Dalam keakraban itu, saya tidak lagi merasa seperti orang yang sakit -- saya merasa benar-benar menjadi bagian dari keluarga. Keluarga yang akrab dan penuh kasih sayang. Saya akan membuang ketakutan saya. Jiwa saya dipenuhi dengan sinar yang baru, sinar baru yang berasal dari Tuhan yang telah menuntun saya selama enam bulan ini. Sinar itu terpancar dari palungan, pancaran sinar yang diciptakan Tuhan karena saya mau membantu-Nya.
Jadi, bila Anda diserang penyakit atau kemalangan, tentukan beberapa sasaran. Cari sesuatu yang berharga untuk dilakukan dan mulailah mengerjakannya. Buatlah sandiwara Natal atau doa semalam suntuk sebelum Paskah/Natal, atau adakan penjualan makanan. Apabila Anda bisa berdagang, tawarkan kecakapan Anda kepada mereka yang memerlukannya. Sering kali akan lebih baik apabila Anda keluar dari diri sendiri. Jangan takut. Maju terus.
Diambil dari:
Judul buku: Kisah Nyata Seputar Natal
Judul artikel: Sandiwara Malam Kudus Buatan Sendiri
Penulis artikel: Ella Ruth Rettig
Penerbit: Yayasan Kalam Hidup, Bandung
Halaman: 49 -- 53
POKOK DOA
1. Mari kita berdoa untuk mereka yang saat ini sedang sakit, untuk kesembuhan mereka dan semangat mereka dalam menyongsong Natal.
2. Doakan agar setiap anak Tuhan dapat mengerti makna Natal yang sebenarnya, sehingga hidup mereka diubahkan menjadi pribadi yang lebih dewasa di dalam Kristus.
3. Mari kita doakan agar Tuhan memakai momen Natal ini untuk mempersatukan setiap keluarga, agar kasih Kristus dapat dirasakan oleh setiap anggota keluarga.
"Tetapi bertumbuhlah dalam kasih karunia dan dalam pengenalan akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus. Bagi-Nya kemuliaan, sekarang dan sampai selama-lamanya." (2 Petrus 3:18) < http://alkitab.sabda.org/?2 Petrus+3:18 >
Kontak: < kisah(at)sabda.org >
Redaksi: Novita Yuniarti
(c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >