Anda terdaftar dengan alamat: iklanmdo.kristen@blogger.com
e-Penulis -- Sekilas Tentang Genre dalam Literatur Sastra (I)
Edisi 109/Mei/2012
DAFTAR ISI
DARI REDAKSI: GENRE, BUKAN KERANGKENG PENULIS
ARTIKEL: PEMAHAMAN TENTANG KARYA SASTRA
POJOK BAHASA: CARA BERPIKIR MASYARAKAT MEMENGARUHI PERLUASAN KOSAKATA BAHASA INDONESIA
DARI REDAKSI: GENRE, BUKAN KERANGKENG PENULIS
Shalom, Sahabat Penulis!
Ada seorang penulis muda yang berkata bahwa seorang penulis sebenarnya tidak memilih genre tulisannya, namun sebaliknya genre itulah yang "memilih" penulisnya. Jika direnungkan lebih dalam, mungkin kata-kata penulis muda itu ada benarnya, karena ketika seorang penulis menghasilkan sebuah karya, ia tidak memilih genre tulisannya, tetapi ia hanya menulis apa yang ada dalam hatinya. Genre adalah "rak buku" yang dibuat untuk mengategorikan karya-karya sastra berdasarkan strukturnya dan mempermudah masyarakat untuk mengenali serta mengapresiasi karya-karya sastra yang beredar. Namun demikian, batasan sebuah genre sebenarnya tidak membelenggu seorang penulis karena seorang penulis adalah pribadi yang bebas menulis apa yang ingin ditulisnya, lihatlah C.S. Lewis yang berhasil memukau pembacanya lewat serial fiksi Narnia yang ditulisnya, di lain kesempatan ia memberkati banyak orang lewat buku-buku teologinya yang dalam seperti Mere Christianity, ia pun menambah pengetahuan pembacanya lewat karya-karyanya yang bersifat akademis, atau melambungkan penikmat karyanya lewat kata-kata indah yang terangkai dalam puisi-puisi ciptaannya. Memang benar, genre seakan mengotak-ngotakkan karya sastra tetapi tidak menjadi kerangkeng yang dapat membatasi seorang penulis untuk mencipta.
Berkaitan dengan itu, pada edisi e-Penulis kali ini kami menyajikan artikel yang membahas tentang genre dalam literatur sastra secara global, yang kami harap dapat memberi wawasan kepada Sahabat sekalian. Di kolom pojok bahasa, kami sajikan tulisan Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, yang membahas pola pikir masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan perkembangan kosakata Bahasa Indonesia. Kiranya sajian kami di edisi ini dapat memberi manfaat kepada Sahabat sekalian. Selamat membaca, Tuhan Yesus memberkati.
Pemimpin Redaksi e-Penulis,
Yosua Setyo Yudo
< yudo(at)in-christ.net >
< http://pelitaku.sabda.org >
ARTIKEL: PEMAHAMAN TENTANG KARYA SASTRA
Menurut Sumardjo dan Sumaini, salah satu pengertian sastra adalah seni bahasa. Maksudnya adalah, lahirnya sebuah karya sastra adalah untuk dapat dinikmati oleh pembaca. Untuk dapat menikmati suatu karya sastra secara sungguh-sungguh dan baik diperlukan pengetahuan tentang sastra. Tanpa pengetahuan yang cukup, penikmatan akan sebuah karya sastra hanya bersifat dangkal dan sepintas karena kurangnya pemahaman yang tepat. Sebelumnya, patutlah semua orang tahu apa yang dimaksud dengan karya sastra. Karya sastra bukanlah ilmu. Karya sastra adalah seni, di mana banyak unsur kemanusiaan yang masuk di dalamnya, khususnya perasaan, sehingga sulit diterapkan untuk metode keilmuan. Perasaan, semangat, kepercayaan, keyakinan sebagai unsur karya sastra sulit dibuat batasannya.
Karya sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kehidupan, yang dapat membangkitkan pesona dengan alat bahasa dan dilukiskan dalam bentuk tulisan. Jakop Sumardjo dalam bukunya yang berjudul "Apresiasi Kesusastraan" mengatakan bahwa karya sastra adalah sebuah usaha merekam isi jiwa sastrawannya. Rekaman ini menggunakan alat bahasa. Sastra adalah bentuk rekaman dengan bahasa yang akan disampaikan kepada orang lain.
Pada dasarnya, karya sastra sangat bermanfaat bagi kehidupan, karena karya sastra dapat memberi kesadaran kepada pembaca tentang kebenaran-kebenaran hidup, walaupun dilukiskan dalam bentuk fiksi. Karya sastra dapat memberikan kegembiraan dan kepuasan batin. Hiburan ini adalah jenis hiburan intelektual dan spiritual. Karya sastra juga dapat dijadikan sebagai pengalaman untuk berkarya, karena siapa pun bisa menuangkan isi hati dan pikiran dalam sebuah tulisan yang bernilai seni.
Setelah mengetahui apa yang dimaksud dengan karya sastra, tidak ada salahnya apabila kita melirik lebih mendalam tentang genre (jenis) karya sastra. Karya sastra dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yakni karya sastra imajinatif dan karya sastra nonimajinatif. Ciri karya sastra imajinatif adalah karya sastra tersebut lebih menonjolkan sifat khayali, menggunakan bahasa yang konotatif, dan memenuhi syarat-syarat estetika seni. Sedangkan ciri karya sastra nonimajinatif adalah karya sastra tersebut lebih banyak unsur faktualnya daripada khayalinya, cenderung menggunakan bahasa denotatif, dan tetap memenuhi syarat-syarat estetika seni.
Pembagian genre sastra imajinatif dapat dirangkumkan dalam bentuk puisi, fiksi atau prosa naratif, dan drama. Penjelasan tentang ketiga karya sastra ini akan kita kupas secara terperinci.
1. Puisi
Puisi adalah rangkaian kata yang sangat padu. Oleh karena itu, kejelasan sebuah puisi sangat bergantung pada ketepatan penggunaan kata serta kepaduan yang membentuknya.
2. Fiksi atau prosa naratif.
Fiksi atau prosa naratif adalah karangan yang bersifat menjelaskan secara terurai mengenai suatu masalah atau hal atau peristiwa dan lain-lain. Fiksi pada dasarnya terbagi menjadi novel, roman, dan cerita pendek.
Suroto dalam bukunya yang berjudul "Apresiasi Sastra Indonesia" menjelaskan secara terperinci tentang pengertian tiga genre yang termasuk dalam prosa naratif berikut ini.
a. Novel
Novel ialah suatu karangan prosa yang bersifat cerita, yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang (tokoh cerita). Dikatakan kejadian yang luar biasa karena dari kejadian ini lahir suatu konflik, suatu pertikaian, yang mengalihkan jurusan nasib para tokoh. Novel hanya menceritakan salah satu segi kehidupan sang tokoh yang benar-benar istimewa, yang mengakibatkan terjadinya perubahan nasib.
b. Roman
Istilah roman berasal dari genre romance dari Abad Pertengahan, yang merupakan cerita panjang tentang kepahlawanan dan percintaan. Istilah roman berkembang di Jerman, Belanda, Perancis, dan bagian-bagian Eropa Daratan yang lain. Ada sedikit perbedaan antara roman dan novel, yakni bahwa bentuk novel lebih pendek dibanding dengan roman, tetapi ukuran luasnya unsur cerita hampir sama.
c. Cerita pendek.
Cerita atau cerita pendek adalah suatu karangan prosa yang berisi cerita sebuah peristiwa kehidupan manusia -- pelaku/tokoh dalam cerita tersebut. Dalam karangan tersebut terdapat pula peristiwa lain tetapi peristiwa tersebut tidak dikembangkan, sehingga kehadirannya hanya sekadar sebagai pendukung peristiwa pokok agar cerita tampak wajar. Ini berarti cerita hanya dikonsentrasikan pada suatu peristiwa yang menjadi pokok ceritanya.
3. Drama
Genre sastra imajinatif yang ketiga adalah drama. Drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui dialog-dialog para tokohnya. Drama sebagai karya sastra sebenarnya hanya bersifat sementara, sebab naskah drama ditulis sebagai dasar untuk dipentaskan. Dengan demikian, tujuan drama bukanlah untuk dibaca seperti orang membaca novel atau puisi. Drama yang sebenarnya adalah kalau naskah sastra tadi telah dipentaskan. Tetapi bagaimanapun, naskah tertulis drama selalu dimasukkan sebagai karya sastra.
Selanjutnya adalah pembagian genre sastra nonimajinatif, di mana kadar fakta dalam genre sastra ini agak menonjol. Sastrawan bekerja berdasarkan fakta atau kenyataan yang benar-benar ada dan terjadi sepanjang yang mampu diperolehnya. Penyajiannya dalam bentuk sastra disertai oleh daya imajinasinya, yang memang menjadi ciri khas karya sastra. Genre yang termasuk dalam karya sastra nonimajinatif, yaitu:
1. Esai
Esai adalah karangan pendek tentang sesuatu fakta yang dikupas menurut pandangan pribadi manusia. Dalam esai, baik pikiran maupun perasaan dan keseluruhan pribadi penulisnya tergambar dengan jelas, sebab esai merupakan ungkapan pribadi penulisnya terhadap sesuatu fakta.
2. Kritik
Kritik adalah analisis untuk menilai sesuatu karya seni, dalam hal ini karya sastra. Jadi, karya kritik sebenarnya termasuk argumentasi dengan faktanya sebuah karya sastra, sebab kritik berakhir dengan sebuah kesimpulan analisis. Tujuan kritik tidak hanya menunjukkan keunggulan, kelemahan, benar dan salahnya sebuah karya sastra dipandang dari sudut tertentu, tetapi tujuan akhirnya adalah mendorong sastrawan untuk mencapai penciptaan sastra setinggi mungkin, dan juga mendorong pembaca untuk mengapresiasi karya sastra secara lebih baik.
3. Biografi
Biografi atau riwayat hidup adalah cerita tentang hidup seseorang yang ditulis oleh orang lain. Tugas penulis biografi adalah menghadirkan kembali jalan hidup seseorang berdasarkan sumber-sumber atau fakta-fakta yang dapat dikumpulkannya. Teknik penyusunan riwayat hidup itu biasanya kronologis yakni dimulai dari kelahirannya, masa kanak-kanak, masa muda, dewasa, dan akhir hayatnya. Sebuah karya biografi biasanya menyangkut kehidupan tokoh-tokoh penting dalam masyarakat atau tokoh-tokoh sejarah.
4. Autobiografi
Autobiografi adalah biografi yang ditulis oleh tokohnya sendiri, atau kadang-kadang ditulis oleh orang lain atas penuturan dan sepengetahuan tokohnya. Kelebihan autobiografi adalah bahwa peristiwa-peristiwa kecil yang tidak diketahui orang lain, karena tidak ada bukti yang dapat diungkapkan. Begitu pula sikap, pendapat, dan perasaan tokoh yang tak pernah diketahui orang lain dapat diungkapkan.
5. Sejarah
Sejarah adalah cerita tentang zaman lampau sesuatu masyarakat berdasarkan sumber-sumber tertulis maupun tidak tertulis. Meskipun karya sejarah berdasarkan fakta yang diperoleh dari beberapa sumber, namun penyajiannya tidak pernah lepas dari unsur khayali pengarangnya. Fakta sejarah biasanya terbatas dan tidak lengkap, sehingga untuk menggambarkan zaman lampau itu, pengarang perlu merekonstruksinya berdasarkan daya khayal atau imajinasinya, sehingga peristiwa itu menjadi lengkap dan terpahami.
6. Memoar
Memoar pada dasarnya adalah sebuah autobiografi, yakni riwayat yang ditulis oleh tokohnya sendiri. Bedanya, memoar terbatas pada sepenggal pengalaman tokohnya, misalnya peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh selama Perang Dunia II saja. Fakta dalam memoar itu unsur imajinasi penulisnya ikut berperanan.
7. Catatan Harian
Catatan harian adalah catatan seseorang tentang dirinya atau lingkungan hidupnya yang ditulis secara teratur. Catatan harian sering dinilai berkadar sastra karena ditulis secara jujur, spontan, sehingga menghasilkan ungkapan-ungkapan pribadi yang asli dan jernih, yakni salah satu kualitas yang dihargai dalam sastra.
8. Surat-Surat
Surat tokoh tertentu untuk orang-orang lain dapat dinilai sebagai karya sastra, karena kualitas yang sama seperti terdapat dalam catatan harian.
Genre sastra nonimajinatif ini belum berkembang dengan baik, sehingga adanya genre tersebut kurang dikenal sebagai bagian dari sastra. Apa yang disebut karya sastra selama ini hanya menyangkut karya-karya imajinasi saja. Hal ini bisa kita lihat dari pemahaman masyarakat, khususnya pelajar tentang sastra.
Inilah tulisan singkat tentang sastra dan pembagiannya. Untuk memahami lebih jauh lagi, Anda dapat menggali lagi lebih lanjut dari berbagai sumber, baik itu buku, artikel, majalah, surat kabar, dan sebagainya.
Sumber yang dijadikan cerminan untuk tulisan ini:
Sumardjo, Jakob, dan Saini K.M. 1994. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suroto. 1990. Apresiasi Sastra Indonesia untuk SMTA. Jakarta: Erlangga.
Diambil dari:
Nama situs: Uli785
Alamat URL: http://uli785.blogspot.com/
Penulis: Tidak dicantumkan
Tanggal akses: 19 April 2012
POJOK BAHASA: CARA BERPIKIR MASYARAKAT MEMENGARUHI PERLUASAN KOSAKATA BAHASA INDONESIA
Dalam upaya memperluas kosakata bahasa Indonesia, kita juga harus meningkatkan kemampuan masyarakat untuk terus mengembangkan cara berpikir. Karena setiap kali kita masuk ke dalam cara berpikir yang terlalu falsafah, kita mendapatkan kesulitan yang luar biasa dalam pengungkapan.
Saya merasakan kesulitan tersebut di program S3. Bahasa Indonesia belum mampu menjabarkan soal-soal yang sangat rumit pada tingkat calon doktor yang memerlukan pendekatan falsafah. Faktor ini merupakan salah satu penyebab yang mengakibatkan risiko ketinggalan dari segala perdebatan yang terjadi di dunia. Kita semua tahu bahwa di abad 21 ini, yang paling banyak digunakan adalah bahasa Inggris. Ini sebetulnya merupakan "battle of ideas", karena yang diuji di dunia saat ini bukan hanya pengetahuan tapi juga kreativitas. Bukan hanya kompetensi tapi juga reputasi.
Kemiskinan kosakata ini juga cukup merepotkan ketika saya harus membicarakan reformasi PBB. Untuk meliput masalah diplomasi internasional, banyak istilah atau ungkapan yang belum ada dalam bahasa Indonesia. Jadi, tidak bisa disalahkan juga kalau kita terpaksa menggunakan istilah bahasa Inggris. Bahasa-bahasa diplomasi kita tidak cukup untuk menerangkan apa yang kita maksud.
Zaman Pak Harto, pernah didirikan sebuah lembaga kerja sama untuk menyamakan peristilahan di berbagai bidang ilmu, yang tujuannya untuk memungkinkan pencetakan buku di kawasan negara berbahasa Melayu bisa dilakukan dalam jumlah besar. Hal itu hanya mungkin jika peristilahan di negara-negara berbahasa Melayu seperti Malaysia, Singapura, Brunei dan Indonesia bisa disamakan.
Contoh yang paling mudah adalah istilah bisnis "depreciation". Di Indonesia istilah tersebut diterjang saja dengan istilah "depresiasi". Teman saya dari Malaysia tertawa ketika mengetahui bahwa "depreciation" juga diterjemahkan sebagai "penyusutan". Mereka bilang yang menyusut itu es. Kalau mesin itu tidak menyusut, karena yang menyusut adalah nilainya. Jadi menurut rekan saya itu, terjemahan dari "depreciation" harusnya "susut nilai". Jadi kalau "accelerated depreciation" dengan sendirinya berarti "susut nilai dipercepat".
Contoh yang cukup sulit adalah pemahaman "marginal". Di Malaysia diterjemahkan "sut". Argumen saya, konsep "marginal" itu secara matematis merupakan sesuatu yang sangat maju di luar ilmu berhitung biasa. Istilah itu saya ragukan, dan karena saya tidak yakin, maka dalam bahasa Indonesia saya menggunakan istilah "marjinal" bukan "sut". Hal-hal seperti inilah yang perlu kita benahi.
Ketidaksepahaman ini tidak hanya terjadi antarnegara, bahkan di antara kita sendiri, antar suku. Contohnya, istilah "saling bantah", dalam bahasa Bugis itu disebut "baku bantah", di mana penggunaan kata "baku" juga dipakai untuk "baku hantam", "baku pukul", "baku bicara". Sementara sebagian dari kita menggunakan istilah "berbalas".
Selayaknya Dewan Bahasa tiap negara berbahasa melayu menciptakan konsensus dalam hal penyamaan istilah di berbagai disiplin ilmu, yang kemudian diundangkan agar menjadi istilah resmi yang digunakan oleh negara-negara yang berkepentingan.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Nama situs: bahasakita.com
Alamat URL: http://bahasakita.com/2011/09/26/cara-berpikir-masyarakat-mempengaruhi-perluasan-kosakata-bahasa-indonesia/
Penulis: Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti
Tanggal akses: 19 April 2012
Kontak: < penulis(at)sabda.org >
Redaksi: Yosua Setyo Yudo, Berlian Sri Marmadi
(c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org/ >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/penulis >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >