______________________Milis Publikasi e-Reformed______________________
Anda terdaftar dengan alamat: iklanmdo.kristen@blogger.com
e-Reformed -- Melawan Kebohongan Gerakan Pengembangan Diri (2)
Edisi 123/Nov/2010
DAFTAR ISI:
ARTIKEL: MELAWAN KEBOHONGAN GERAKAN PENGEMBANGAN DIRI (2)
Dear e-Reformed Netters,
Saya minta maaf sebesar-besarnya karena dulu ada salah satu edisi
e-Reformed yang tertunda sangat lama, dan baru sekarang saya
kirimkan. Edisi tersebut adalah no. 123. Edisi ini adalah lanjutan
dari artikel yang saya kirim sebelumnya, yang berjudul "MELAWAN
KEBOHONGAN GERAKAN PENGEMBANGAN DIRI" (1) yang terkirim 25 Oktober
2010. Semoga pengiriman edisi ini (walaupun terlambat) dapat diterima
dengan baik.
Sebelum melanjutkan membaca, saya berikan sedikit overview isi buku.
Penulis, yaitu Stephanie Forbes memberikan 7 langkah untuk menghadapi
gerakan pengembangan diri. Tujuh langkah tersebut adalah:
1. Mempelajari Alkitab
2. Mempelajari Sejarah Gereja
3. Pelajarilah Kredo-Kredo Gereja
4. Mempelajari Apologetika
5. Belajar Untuk Menerima Paradoks
6. Mengevaluasi Buku-Buku Kehidupan Kristen
7. Ingatlah siapa musuh kita
Di artikel bagian pertama sudah saya kirim, dibahas 2 langkah untuk
menghindarkan diri dari kebohongan gerakan pengembangan diri.
Catt: Jika Anda belum mendapatkan, (atau lupa artikel yang mana),
silakan mengakses ke situs SOTERI di: <
http://reformed.sabda.org/melawan_kebohongan_bagian_1 >
Jadi, berikut adalah 5 langkah selanjutnya yang perlu Anda simak
untuk menolong Anda tidak ikut terjebak dalam gerakan pengembangan
diri. Selamat menyimak.
In Christ,
Yulia Oeniyati < yulia@in-christ.net >
http://reformed.sabda.org
http://fb.sabda.org/reformed
=====================================================================
MELAWAN KEBOHONGAN GERAKAN PENGEMBANGAN DIRI
(Bag. 2)
3. Pelajarilah Kredo-Kredo Gereja
Gereja-gereja Injili cenderung mengabaikan kredo (noncreedal),
karena mereka meyakini bahwa semua sistim kepercayaan atau pengakuan
iman atau yang disebut kredo itu pasti tunduk pada Alkitab. Tentu
saja Alkitab selalu diutamakan, tetapi mengabaikan kredo-kredo
tradisional akan mengulangi kesalahan lama -- seperti peribahasa
"membuang bayi bersama air bekas mandinya" [membuang sesuatu
yang berharga bersama dengan sesuatu yang tidak diinginkan, Red.].
Parahnya, dengan mengabaikan kredo-kredo tersebut, kita membuat
asumsi yang arogan bahwa seakan-akan Roh Kudus sudah meninggalkan
gereja setelah kematian para Rasul.
Pengakuan Iman yang resmi memiliki peranan penting bagi pertumbuhan
iman orang percaya. Kredo-kredo tradisional membantu mempertahankan
pengajaran (doktrin) yang terdahulu (orthodoksi). Kredo-kredo
tersebut tidak dituliskan oleh satu atau dua orang untuk
mengungkapkan pandangan pribadi tentang doktrin atau tentang Alkitab;
dan juga tidak dituliskan untuk mengguncangkan iman orang-orang
percaya yang tanpa kompromi dan tak gentar sedang dalam pencarian
penafsiran terakhir tentang hakikat dan arti Ketuhanan, yang
akhir-akhir ini sering menjadi persoalan dalam kaitannya dengan
karya-karya teologia masa kini, khususnya dari aliran liberal.
Kredo-kredo ini dituliskan untuk menguji kebenaran Alkitab dan untuk
menyelamatkan gereja dari aliran sesat dan kemurtadan. Kredo-kredo
tersebut dirumuskan dengan cara mengumpulkan pemimpin-pemimpin gereja
yang ahli dan pakar-pakar Alkitab, lalu mereka berdebat tentang
masalah serius atau perselisihan yang timbul dalam gereja.
Konsili Nicea, contohnya, bertemu pada tahun 325 untuk menyelesaikan
perselisihan pendapat tentang hakikat ke-Tri-Tunggalan Allah dan
ke-Allahan Kristus. Alhasil, aliran sesat 'Arianisme' (yang
menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah sosok yang diciptakan sehingga
sesungguhnya Dia bukanlah Allah), bisa dikalahkan. Karena Konsili
Nicea, kita secara tegas saat ini menyatakan bahwa Tuhan Yesus
Kristus adalah "Anak Allah yang tunggal, yang lahir dari Sang Bapa
pada kekekalan. Allah dari Allah, terang dari terang. Allah yang
sejati dari Allah yang sejati, diperanakkan, bukan dibuat, sehakekat
dengan Sang Bapa." Kata-kata [dalam Pengakuan Iman Nicea] ini, kaya
dengan pandangan teologis dan pernyataan mulia tentang keberadaan
kekal Yesus yang memunyai hakikat yang sama (bahasa Yunaninya:
homoousios) dengan Allah, seharusnya tidak dibuang atau diabaikan
oleh kaum injili modern walaupun istilah itu tidak terdapat dalam 66
kitab Alkitab kanonika.
Konsili Nicea, dan konsili-konsili yang mengikutinya, menghentikan
aliran-aliran sesat yang menyangkal Trinitas, ke-Allahan Roh Kudus,
hakikat Kristus sebagai Allah yang sempurna dan manusia yang
sempurna, dan kebangkitan badaniah Yesus. Ketika kita mengabaikan
kredo-kredo yang dirumuskan konsili-konsili ini, maka kita sendiri
yang akan menanggung risikonya.
Sebagai contoh, perhatikanlah karya Douglas F. Ottati, guru besar
Teologia pada Union Theological Seminary di Virginia. Ottati
menyatakan bahwa Perjanjian Baru bukanlah sejarah, tetapi
"tematisasi" yang bersifat naratif dan simbolik. Yesus Kristus, dalam
konteks ini, merupakan "bentuk simbolik," seorang "perantara wahyu
yang umum," suatu "gambaran karunia," atau seorang "manusia yang
berbentuk Allah (God-shaped man)". Ottati berbicara melawan Kredo
Khalsedon pada tahun 451, bahwa "Yesus Kristus sesungguhnya adalah
Allah dan sesungguhnya adalah manusia" sebagai doktrin yang cacat.
Ottati dan yang lainnya tampaknya merasa bebas menafsirkan ulang
Kitab Suci untuk mencapai tujuan mereka. Pekerjaan mereka cukup
meyakinkan sehingga mereka dapat mengubah kepercayaan banyak orang
untuk mengikuti ajaran mereka. Tetapi mereka tidak dapat merumuskan
kembali kredo-kredo kuno. Bagaimana Anda menafsirkan ulang pernyataan
bahwa Yesus Kristus diperanakkan sang Bapa? Kelebihan dari
kredo-kredo tersebut adalah sifatnya yang tegas dan lugas.
Kredo-kredo tersebut harus diterima atau disangkal, dan Ottati telah
menyangkalnya. Dengan penyangkalannya, dia menunjukkan bahwa dia
telah berpisah dengan kekristenan ortodoksi, berpisah dengan
kekristenan dari segala abad, berpisah dengan pewahyuan kebenaran dari Allah.
Dengan mempelajari kredo-kredo tersebut kita juga diingatkan akan apa
yang dituliskan oleh Pengkhotbah, "tak ada sesuatu yang baru di bawah
matahari." [18] Bidat Gnostisisme, Arianisme, Pelagianisme, dan
Maniisme berada di tengah-tengah kita saat ini. Kita dapat menemukan
mereka dalam karya-karya para penulis pengembangan diri dan
karya-karya para teolog Liberal yang tetap menyebut diri mereka
Kristen sementara terus menyembah dewa-dewa dari agama pemuja
berhala, dan termasuk dalam ilah-ilah tersebut adalah diri mereka
sendiri. Bapa-Bapa Gereja kita telah berjuang melawan aliran-aliran
sesat yang sama. Dalam setiap generasi, sang ular tetaplah sama
walaupun mungkin berganti kulit. Lagi-lagi, kita terhubung dengan
kekristenan masa lampau, sama seperti kekristenan masa depan akan
tersambung dengan kita dalam perjuangan keras melawan musuh kita
bersama. Kredo-kredo tersebut mengingatkan bahwa perang ini bukanlah
perang baru, dan pengakuan-pengakuan tersebut mendorong kita untuk
tetap setia dan membawa senjata kita setiap waktu.
Akhirnya, kita perlu mengingat bahwa pengakuan-pengakuan iman,
seperti Pengakuan Iman Rasuli, pada bagian awalnya tertulis: "Kami
percaya," bukan "Aku percaya." Menurut Dr. Wiliam Barclay, ketika
mengucapkan pengakuan-pengakuan tersebut, kita mengidentifikasikan
diri kita dengan iman dan pengalaman global dari gereja. [19] Hal ini
telah lama menjadi sesuatu yang mengganggu kaum injili, karena mereka
berpusat pada pengalaman iman pribadi dalam Kristus dan mengabaikan
pengalaman iman di dalam komunitas orang beriman. Meskipun benar
bahwa setiap individu perlu menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan
Juru Selamat, penekanan yang berlebihan pada individualisme yang
radikal membuat gerakan injili terbuka pada tuduhan gnostisisme. Kita
perlu saling mengingatkan dan juga mengingatkan diri kita sendiri
bahwa Penyataan Allah tentang diri-Nya "diturunkan kepada kita lewat
komunitas yang dibentuk dalam perjanjian dengan Allah." [20] Tidak
sia-sia orang Kristen diperintahkan untuk saling berkumpul untuk
menyembah dan bekerja dalam komunitas. Penulis surat Ibrani, dengan
gaya penulisan penulis Yahudi yang kental pada saat itu,
memperingatkan tentang individualisme, tentang roh perpecahan.
Orang-orang percaya diperintahkan untuk menyembah bersama-sama.
Mereka yang tidak melakukannya akhirnya akan jatuh dan terhilang. [21]
4. Mempelajari Apologetika
C.S. Lewis pertama-tama dituntun melalui proses pemikiran dan logika
untuk percaya kepada Allah dan kemudian beriman kepada Kristus. Dia
menghabiskan hidupnya mempertahankan imannya yang secara jelas dan
tegas menyuarakan ketetapan hati yang logis dan kebenaran yang
meyakinkan tentang imannya. Apologetikanya "kuat". Pembelaannya
terhadap kekristenan sangat teguh, penuh kekuatan dan
terang-terangan. Penjelasannya bebas dari istilah-istilah pietisme
dan evangelisme yang tidak mencerahkan malah "menakutkan" para
skeptik. Dengan menekankan dan menunjukkan bahwa kekristenan masuk
akal, Lewis, semasa hidupnya maupun melalui buku-bukunya, mampu
memenangkan ribuan orang bagi Kristus.
Pelajaran apologetika Kristen -- pembelaan yang logis dari
kepercayaan kekristenan -- tidak hanya dapat membantu kita menjangkau
mereka yang belum diselamatkan, tetapi juga dapat menolong kita untuk
mendukung pembelaan kita melawan gerakan pengembangan diri dan
modernitas-modernitas dalam bentuk lain. Tetapi mengapa ada banyak
orang Kristen modern, khususnya orang-orang injili, yang tampaknya
salah sangka dengan apologetika dan takut berdiskusi tentang hal yang
mempertanyakan kepercayaan kita? Apakah mereka menganggap bahwa
kekristenan menentang logika dan akal, bahwa kekristenan tidak dapat
dibuktikan dan harus diterima dengan iman saja? Apakah mereka mengira
bahwa jika Anda mempertanyakan kekristenan, Anda tidak mungkin
memercayainya? Apakah mereka melihat apologetika sebagai penyangkalan
akan peranan iman dalam kepercayaan?
Keengganan kita untuk terlibat dalam pembelaan yang logis dan
rasional tentang kepercayaan kita adalah perkembangan yang cukup baru
dalam sejarah kekristenan. Menurut teolog Colin Brown, yang telah
menulis tentang kekristenan dan filsafat secara mendalam, pada masa
awal kekristenan, baik orang Kristen maupun musuh-musuh orang Kristen
menggunakan logika untuk membela cara pandang dunia mereka. [22] Akan
tetapi, sejak munculnya karya teolog-teolog seperti Soren Kierkegaard
dan Karl Barth, banyak orang kristen, baik kaum intelektual maupun
awam, mulai menyatakan pendapat bahwa manusia tidak bisa berbuat
apa-apa secara rasional untuk mencari Allah. Yang dapat dilakukan
manusia untuk menyelamatkan dirinya sendiri adalah membuat loncatan
iman yang irasional untuk mencapai apa yang Francis Schaeffer sebut
"kisah yang teratas" dari kepercayaan nonrasional. Menurut pandangan
ini, percaya kepada Allah tidak didasari oleh akal. Kita percaya,
karena jika tidak percaya sama artinya dengan tidak berpengharapan;
kita percaya bukan karena kepercayaan tersebut adalah kebenaran,
bukan karena kepercayaan tersebut masuk akal, bukan pula karena
kepercayaan tersebut memberikan penjelasan konsisten yang logis
tentang sejarah manusia dan tentu saja, tentang kenyataan.
Akan tetapi, iman bukanlah emosi yang tidak melibatkan pemikiran dan
yang tidak menggunakan akal. Ketika penulis surat Ibrani mengatakan
pada kita, "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan
dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat," [23] dia tidak
mengatakan bahwa iman itu irasional. Dan jika kita memerhatikan
hakikat iman dalam kehidupan kita sehari-hari, kita akan menyadari
bahwa iman didasari oleh akal, pengetahuan, dan pengalaman -- bukan
keinginan orang putus asa untuk memercayai yang tidak dapat
dipercayai hanya untuk menyelamatkan diri dari alam raya yang nihilistik.
Ketika saya pergi tidur pada malam hari, saya beriman bahwa matahari
akan terbit esok pagi karena saya memunyai pengetahuan tentang cara
kerja alam semesta. Saya beriman bahwa saya dapat menemukan jalan
saya ke toko bahan-bahan makanan karena saya mengetahui geografi kota
saya. Kepercayaan saya kepada tindakan-tindakan yang dilakukan
teman-teman akrab saya berasal dari pengetahuan saya tentang mereka.
Semakin saya mengenal seseorang dengan lebih baik, semakin saya akan
memercayai orang itu. Seseorang yang selalu terbukti dapat dipercaya
akan membuahkan kepercayaan saya, bahkan saat dia menceritakan kepada
saya sesuatu yang kurang masuk akal. Hal serupa, semakin saya
mengenal Allah, semakin saya beriman. Semakin banyak saya bertanya
dan menemukan bahwa jawaban-jawaban Kristen benar, bukannya bertambah
lemah, iman saya justru akan semakin bertambah kuat.
Winfried Corduan, seorang apolog Kristen, menegaskan, "Kita jangan
pernah takut menyelidiki kebenaran," [24] dia menekankan, "Jika
kekristenan benar, maka kekristenan bisa melawan pertanyaan terberat
yang kita ajukan kepadanya. Jika kekristenan tidak benar, kita perlu
menolaknya." [25] Tentu saja, Corduan tidak takut untuk
mempertanyakan apa yang ia percayai karena dia yakin akan
kebenarannya. Saya merasa bahwa melakukan pendalaman apologetika
Kristen akan membantu kita memikirkan mengapa kita percaya kepada
Allah, mengapa kita percaya kepada Kristus, dan mengapa kita memilih
berserah kepada otoritas Alkitab. Apologetika membantu kita
menguatkan kepercayaan kita dan memberikan kita amunisi untuk
melindungi diri kita sendiri dan gereja kita melawan
serangan-serangan pemikiran pengembangan diri.
5. Belajar Untuk Menerima Paradoks
Salah satu bahaya dari pengembangan diri adalah gerakan ini sedikit
menyerupai kekristenan walaupun merupakan bentuk yang hanya tampak di
permukaan -- luwes dan menghilangkan unsur-unsur berbahaya, gelap,
misterius dan yang berbobot dari kekristenan yang sesungguhnya.
Kekristenan pengembangan diri mengajarkan pengampunan diri, pengakuan
diri, dan penghargaan diri. Sosok Kristus, kalaupun Dia masuk ke
dalam agama pengembangan diri, berperan sebagai saudara atau teman
yang mencintai dan mendukung kita. Pengembangan diri bukan saja agama
penghiburan, perasaan baik, dan kenyamanan tetapi juga sebagai agama
yang menyenangkan sisi kemalasan kita karena kita tidak memerlukan
baik pemuridan yang harus membayar harga, maupun dorongan kekuatan
intelektual. Kita tidak perlu berserah pada ke-Tuhanan Kristus; kita
tidak perlu belajar untuk menunjukkan bahwa diri kita diakui atau
tidak; kita hanya perlu percaya bahwa kita layak menerima semua
kebaikan dan keilahian setiap saat.
Akan tetapi, agama pengembangan diri tentu saja gagal untuk memuaskan
manusia. Hal inilah yang mungkin menjadi alasan mengapa pangsa pasar
buku-buku baru tentang pengembangan diri hampir tidak ada batasnya.
Orang-orang terus berdatangan untuk mencari buku-buku baru, karena
buku-buku yang lama tidak dapat memenuhi impian mereka. Pengembangan
diri, baik terang-terangan dalam bentuk sekuler maupun diam-diam
dalam wujud "Kristen", tidak dapat memuaskan manusia, karena seperti
yang dijelaskan C.S. Lewis, "Tidak ada kepercayaan gampangan yang
dapat bertahan. Walaupun kita kacau dan bingung, tetapi kita secara
samar-samar tetap tahu dalam hati kita bahwa tidak ada hal-hal yang
selalu menyenangkan kita yang memunyai kenyataan secara obyektif.
Hakikatnya, kebenaran perlu memunyai ujung-ujung yang tajam dan
tepi-tepi yang kasar." [26] Selain itu, sebagaimana hal yang sangat
menyenangkan, dijelaskan oleh Lewis, bahwa hal-hal yang benar-benar
nyata adalah hal-hal yang aneh. Hal-hal yang nyata bukanlah seperti
hal-hal yang ada dalam bayangan Anda. Kekristenan memunyai keanehan
yang dimiliki oleh hal-hal yang nyata. Kekristenan tidaklah teratur.
Kekristenan tidaklah sederhana. Kekristenan bukanlah sesuatu yang
Anda akan harapkan. Kekristenan penuh dengan kegelapan, misteri dan paradoks.
Orang-orang percaya zaman ini perlu menerima paradoks-paradoks
kekristenan jika mereka ingin merasakan kepenuhan dalam kebenaran
Allah dan jika mereka ingin sungguh-sungguh dipersenjatai untuk
melawan penjelasan-penjelasan gampangan, jawaban-jawaban tidak
berbobot, cara pandang dunia yang sederhana yang ditawarkan oleh
gerakan pengembangan diri. Ketika pengembangan diri mengatakan kepada
kita bahwa kita berhak untuk mendahulukan diri kita, kita perlu
mengingat perkataan paradoks Kristus, "Demikianlah orang yang
terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi
yang terakhir." [27] Ketika pengembangan diri mengatakan kepada kita
bahwa kitalah yang empunya diri kita, kita perlu mengingat:
"Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya,
dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya." [28]
Kekristenan penuh dengan paradoks-paradoks seperti di atas. Kita
memunyai Allah yang Satu, namun Tiga. Kita mengikuti Tuhan yang
sepenuhnya manusia dan sepenuhnya Allah. Kita percaya bahwa untuk
hidup sungguh-sungguh, kita perlu mati; untuk menerima, kita perlu
memberi; untuk ditinggikan, kita perlu merendahkan diri. Mungkin yang
paling meresahkan -- yang tentunya adalah batu sandungan besar bagi
banyak pemikiran modern -- adalah kepercayaan pokok Kristen bahwa
untuk dipulihkan, kita perlu dibalut oleh darah. Bukan dengan
sembarang darah, namun dengan darah ketidakberdosaan, darah
kesempurnaan, darah kurban yang mau untuk dikurbankan. Apakah yang
ditawarkan pengembangan diri dibandingkan dengan misteri-misteri
besar yang selama berabad-abad telah menganugerahkan hormat dan
mencerahkan serta meninggikan pria dan wanita yang bersedia
dipermalukan, disalah-artikan dan dianiaya demi para penulis misteri tersebut?
6. Mengevaluasi Buku-Buku Kehidupan Kristen
Setiap toko buku Kristen yang saya kunjungi memunyai bagian khusus
untuk buku-buku "cara hidup Kristen". Karena kategori buku tersebut
banyak membahas topik-topik seperti pernikahan, pengasuhan anak,
hidup bujang, perceraian, pemulihan, investasi, dan kesuksesan,
buku-buku tersebut memunyai fungsi yang sama sekaligus menekankan
kebutuhan manusia yang sama dengan buku pengembangan diri sekuler.
Banyak dari buku-buku tersebut yang menawarkan pemahaman dan
informasi-informasi yang berguna, sementara sisanya jatuh ke dalam
jebakan yang sama, dan meneruskan separuh-kebenaran dan kebohongan
buku-buku pengembangan diri. Akan tetapi buku yang terbaik pun, yang
tidak bisa tidak berfokus pada diri sendiri, masih jauh dari
contoh-contoh yang diberikan Alkitab dan perintah-perintah kepada
orang Kristen untuk takluk, memberi diri sendiri, dan mengasihi.
Jadi bagaimana kita melindungi diri kita dari pandangan
penulis-penulis pengembangan diri Kristen yang memutarbalikkan fakta,
seraya memperlengkapi diri kita dengan pandangan-padangan atau
pikiran-pikiran yang dapat membantu kita menjadi hamba Kristus yang
lebih baik? Berikut ini, saya mengajukan beberapa saran:
a. Berhati-hatilah terhadap kebohongan-kebohongan dari gerakan
pengembangan diri. Ketika Anda melihat-lihat buku, cobalah menyelidiki:
- apakah penulisnya menganjurkan kebahagiaan, sukses, atau kebanggaan
diri sebagai tujuan akhir?
- Apakah penulis menggunakan Allah, kekristenan, dan Kitab Suci untuk
pemenuhan kebutuhan manusia?
- Apakah penulis mengakui keadaan manusia yang berdosa atau
menggambarkan bahwa
manusia pada dasarnya adalah baik?
- Apakah penulis mengakui tuntutan Allah atas hidup kita sejak dari
semula atau apakah dia menganggap kita adalah pemilik diri kita sendiri?
- Apakah akhir dari buku tersebut bertujuan untuk memuliakan Allah
atau pengembangan diri?
b. Bacalah ulasan-ulasan kritis oleh otoritas yang diakui. Jangan
menganggap hanya karena suatu buku ditulis oleh penulis yang Anda
kagumi atau diterbitkan oleh penerbit Kristen maka
pengajaran-pengajaran buku-buku tersebut seutuhnya kristen sejati.
Selidikilah apakah teolog-teolog atau pakar-pakar Alkitab terkenal
pernah mengulas buku tersebut. Kemudian perhatikanlah apa yang mereka
katakan tentang buku ini dari pandangan pengajaran Kristen
konvensional dan pewahyuan firman Allah.
c. Latihlah pemikiran kritis Anda. Jangan menganggap bahwa sebuah
buku adalah buku Kristen hanya karena Anda menemukannya di toko buku
Kristen. Toko-toko buku Kristen di kota saya menjual buku tentang
komentar politik Rush Limbaugh, buku cara mencari uang karya Zig
Ziglar, dan buku semi-rohani karya Scott Peck. Saya telah melihat
buku yang isinya tidak lebih dari caci maki pribadi terhadap Hillary
Clinton, cerita tentang pengalaman-pengalaman di ujung maut, dua
belas langkah-dua belas langkah pemulihan, strategi-strategi
berbicara positif kepada diri sendiri, dan caci-maki politis
diletakkan tepat di samping pedoman-pedoman pendalaman Alkitab.
Buku-buku ini tidak memiliki setitikpun nilai kekristenan sejati,
walaupun dijual olah distributor-distributor buku Kristen dan dibaca
oleh orang-orang yang mengaku sebagai Kristen.
d. Berserahlah pada otoritas Alkitab. Ketika Anda menganalisa
karya-karya seputar cara hidup Kristen, kembalilah kepada standar
ukuran kita, yaitu firman Allah. Selain itu, jika Anda mempelajari
Alkitab dengan cara dan dengan peralatan yang dibahas sebelumnya
dalam artikel ini, Anda tidak akan mengalami kesulitan membedakan
bidah atau aliran sesat, distorsi, dan kebohongan yang diperkenalkan
dalam buku-buku pengembangan diri, baik yang rohani maupun yang bukan.
7. Ingatlah siapa musuh kita
Penyair Perancis, Charles Baudelaire menulis bahwa siasat terpintar
Iblis adalah meyakinkan kita bahwa dia tidak ada. Kita perlu
sungguh-sungguh mengingat peringatan Baudelaire ini ketika
mengevaluasi bahan-bahan pengembangan diri. Penekanan dari gerakan
pengembangan diri bahwa masalah dan kebutuhan-kebutuhan kita
disebabkan oleh masalah-masalah psikologi, sosiologi, atau genetik
tidaklah lebih dari usaha Iblis untuk meyakinkan kita bahwa dia tidak
ada; bahwa dosa dan kejahatan adalah konstruksi-konstruksi masa
primitif dalam sejarah umat manusia. Akan tetapi, di balik pesan
hangat dan menyejukkan yang disampaikan oleh pengembangan diri --
bahkan yang tampaknya berbau Kristen -- terdapat sosok yang Yesus
gambarkan sebagai "pembunuh dan pembenci kebenaran." Tidak ada
setitik kebenaran apapun terdapat padanya. Jika ia berdusta, hal itu
wajar baginya; karena ia adalah bapa para pendusta." [29] Kebohongan
Iblis dalam gerakan pengembangan diri bekerja saat ini untuk
menumbangkan Gereja Kristus. Untuk menghentikan pesan-pesan penuh
bujukan dari pengembangan diri, kita perlu menganggap mereka sebagai
kebohongan-kebohongan dan mengingat dari mana mereka berasal dan
siapa musuh kita.
--end--
------------
Catatan kaki:
18. Pengkhotbah 1:9.
19. William Barclay, The Apostles' Creed for Everyman (New York:
Harper & Row, 1967), p.10.
20. The Book of Common Prayer (New York): The Seabury Press, 1977),
p.846.
21. Ibrani 10:24-25. Lihat pula Craig S. Keener, The IVP Bible
Background Commentary, New Testament (Downers Grove, I11inois:
InterVarsity Press, 1993), pp.670-71.
22. Colin Brown, Christianity & Western Thought, Vol.1 (Downers
Grove, I11inois: InterVarsity Press, 1990), p.99.
23. Ibrani 11:1.
24. Winfried Corduan, Reasonable Faith: Basic Christian Apologetics
(Nashville, Tennessee: Broadman & Holman, 1993), p.21.
25. Ibid., p.22.
26. C.S. Lewis, Letters to Malcolm: Chiefly on Prayer (New York:
Harcourt Brace & Co., 1992), p.76.
27. Matius 20:16.
28. Matius 10:39.
29. Yohanes 8:44.
----------
Diterjemahkan dari:
Judul buku: Help Yourself; Today's Obsession with Satan's Oldest Lie
Judul artikel: Melawan Kebohongan Gerakan Pengembangan Diri
Penulis: Stephanie Forbes
Penerbit: Crossway Book, Wheaton Illinois 1996
Halaman: 185 -- 192
______________________________e-Reformed______________________________
Anda terdaftar dengan alamat: iklanmdo.kristen@blogger.com
Kontak Redaksi: < reformed(a t)sabda.org >
Untuk mendaftar: < subscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org >
Untuk berhenti: < unsubscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org >
Arsip e-Reformed: < http://www.sabda.org/publikasi/e-reformed >
SOTeRI: < http://soteri.sabda.org/ >
Situs YLSA: < http://www.ylsa.org/ >
Situs SABDA Katalog: < http://katalog.sabda.org/ >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
______________________________________________________________________