Anda terdaftar dengan alamat: iklanmdo.kristen@blogger.com
e-JEMMi -- John Eliot
No.34, Vol.15, Agustus 2012
SEKILAS ISI
TOKOH MISI: JOHN ELIOT
Shalom,
Allah mengetahui bahwa suatu ketika anak-anak-Nya akan menjumpai "ladang" tandus untuk digarap. Di situlah sering kali harapan menghilang, keteguhan hati memudar, dan keberanian pun padam. Setiap anak Tuhan harus menyadari bahwa penolakan berada dalam satu paket dengan panggilan untuk memberitakan Kabar Baik. Kesadaran inilah yang membuat tokoh kita pada e-JEMMi 34 bertahan menghadapi berbagai hal yang "melemahkan" pelayanannya. Seperti apa kisah selengkapnya? Silakan simak sajian di bawah ini. Tuhan memberkati.
Redaksi Tamu e-JEMMi,
Berlian Sri Marmadi
< http://misi.sabda.org/ >
TOKOH MISI: JOHN ELIOT
Salah seorang dari para misionaris pertama, dan mungkin yang terbesar di antara semua misionaris yang melayani orang Indian Amerika, adalah John Eliot. Ia disebut juga "Rasul kepada orang-orang Indian". Namun, di balik nama besarnya tersebut, pekerjaan utama Eliot adalah pelayanannya di gereja Roxbury. Ia adalah seorang pelayan jemaat -- seorang bapak gereja di koloni New England -- bukan seorang misionaris menurut arti jabatan yang diembannya itu. Meskipun demikian, ketaatannya untuk memperkenalkan kekristenan kepada orang-orang Indian membuatnya menjadi salah seorang pemimpin misionaris terbaik sepanjang sejarah. Metode-metode yang digunakannya memiliki kualitas yang tak lekang oleh waktu.
John Eliot lahir di Inggris dan belajar di Cambridge. Ia mengikuti pelatihan untuk menjadi hamba Tuhan dan lulus pada tahun 1622. Walaupun ditahbiskan oleh gereja Anglikan, Eliot adalah seorang Nonkonformis, dengan demikian semua pelayanan mimbar yang ingin dilakoninya di Inggris sudah tidak aman lagi atau memiliki lingkup yang terbatas. Jadi, setelah melayani sebagai guru sekolah selama beberapa tahun di bawah pimpinan Bapak Puritan, Thomas Hooker, ia pun berlayar ke benua Amerika yang terbuka lebar untuk dilayaninya. Pada musim panas 1631, Eliot sampai di Massachusetts.
Walaupun padang belantara New England tampak terpencil dan tak beradab, Eliot dengan cepat merasa seperti berada di kampung halamannya sendiri. Tiga saudara laki-lakinya, tiga saudarinya, dan tunangannya tinggal bersama-sama dengannya di Dunia Baru selama setahun. Setelah menghabiskan setahun lagi di Boston sebagai pendeta pengganti, Eliot menerima panggilan untuk melayani di sebuah gereja di Roxbury, yang berjarak 3,2 km di luar Boston. Di sanalah, pada bulan Oktober 1632, John Eliot dan Hanna Mumford menikah dalam sebuah upacara sipil -- upacara pernikahan pertama yang dicatat di kota tersebut.
Seperti kebanyakan pendeta kolonial, tahun-tahun pertama dalam pelayanannya dipenuhi oleh kegiatan untuk kebutuhan umatnya. Di dekat situ terdapat suku Indian yang bermukim, tetapi kunjungan mereka yang sesekali itu hanya menarik sedikit perhatian. Suku Indian itu menunjukkan sikap yang damai dan penduduk koloni menerima keberadaan mereka, tanpa pernah berpikir untuk menginjili mereka. Kenyataannya, banyak penduduk New England, termasuk para pendeta, yang memandang peningkatan tingkat kematian orang-orang Indian karena penyakit sebagai rencana Allah untuk "membersihkan tanah" itu bagi "umat-Nya". Pada saat itu, orang-orang Indian dianggap sebagai pengganggu dan memperlambat laju peradaban.
Ketika Eliot berusia 40 tahun, ia memulai kerja kerasnya sebagai misionaris. Tidak ada Panggilan Makedonia, tidak ada amanat yang khusus, yang ada hanyalah sebuah kepekaan akan sebuah kebutuhan dan ketersediaan dirinya. Langkah pertamanya adalah mempelajari bahasa. Selama dua tahun, ia berada dalam tekanan mental saat mempelajari bahasa Algonquin dalam dialek Massachusetts, sebuah bahasa lisan yang terdiri dari bunyi-bunyi guttural dan bunyi flektif. Dalam menjalankan tugas yang sulit ini, Eliot dibantu oleh Cochenoe, seorang pemuda Indian yang menjadi guru bahasa sekaligus menemani Eliot sebagai penerjemah dan asistennya selama bertahun-tahun.
Pada musim gugur 1646, Eliot menyampaikan khotbah pertamanya kepada sebuah kelompok suku Indian yang bermukim di dekat koloninya. Peristiwa tersebut adalah ujian yang krusial bagi kemampuannya dalam berkomunikasi secara efektif dan ia berharap itu berhasil. Meskipun telah berusaha, pesan yang disampaikannya diacuhkan dan tidak diperhatikan oleh orang-orang Indian tersebut. Mereka bahkan merasa bosan dan memandang rendah perkataan Eliot. Sebulan kemudian Eliot berkhotbah lagi, kali ini kepada kelompok orang-orang India yang lebih banyak yang berkumpul di wigwam milik Waban. Tanggapan yang diberikan mereka sangat meningkat. Orang-orang Indian di sana mendengarkan khotbah dengan penuh perhatian selama lebih dari 1 jam, dan ketika khotbah selesai, mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Menurut Eliot, pertanyaan mereka "penuh keingintahuan, mengagumkan, dan menarik". Eliot menjawab beberapa pertanyaan itu, tetapi sesuai dengan psikologi penerimaan misionaris, ia menutup waktu tanya-jawab itu dan "memutuskan untuk meninggalkan mereka dengan sebuah 'keinginan yang besar'". Sebelum meninggalkan perkemahan, Eliot membagi-bagikan suguhan kepada orang-orang itu, termasuk daging manis dan apel untuk anak-anak, tembakau untuk para pria, dan kemudian ia berangkat "dengan rasa penerimaan yang besar".
Dua minggu kemudian, Eliot kembali ke perkemahan tersebut dengan ditemani oleh 2 orang pendeta dan seorang awam (yang juga mengikutinya saat kunjungan pertama). Saat itu, ada lebih banyak lagi orang Indian yang ingin mencari tahu, sehingga pertemuan itu memperoleh banyak keuntungan. Setelah doa pembukanya, Eliot melatih anak-anak untuk menghafal katekismus, dan tentu saja orang tua mereka juga ikut belajar sementara mereka mendengarnya. Kemudian, Eliot berkhotbah tentang Sepuluh Perintah Allah dan kasih Kristus, yang ditanggapi oleh sebagian dari orang-orang Indian itu dengan air mata. Sekali lagi, pertanyaan-pertanyaan menyusul setelah khotbah itu -- pertanyaan yang paling sulit dijawab adalah, "Mengapa tidak ada orang kulit putih yang mengabarkan kepada kami tentang hal ini sebelumnya?"
Eliot terus mengadakan perjalanan dwi mingguan ke wigwam Waban dalam bulan-bulan berikutnya. Ia selalu datang dengan pelajaran-pelajaran katekismus dan khotbah-khotbah penginjilan yang benar-benar dipersiapkannya. Meskipun ia memikul beban yang berat dari pelayanan ini, tetapi ia aktif merekrut orang-orang untuk menolongnya, termasuk pendeta-pendeta dari koloni-koloni tetangga dan dari gerejanya sendiri. Antusiasme mereka melambungkan semangatnya dan menjaga pelayanan misi itu, untuk tetap dilaksanakan selama masa-masa yang sulit. Perjalanan yang ditempuhnya selalu lambat dan penuh rintangan. Melintasi jalanan di padang belantara yang tidak rata benar-benar melelahkan, tetapi optimisme Eliot tidak terpatahkan: "Kami tidak pernah mengalami hari yang buruk ketika harus berkhotbah kepada orang-orang Indian selama musim dingin. Terpujilah Tuhan."
Setelah berbulan-bulan, beberapa orang Indian bertobat dan perubahan nyata tampak dari kehidupan mereka. Sebuah laporan yang diterbitkan kurang dari setahun dari pertemuan pertama Eliot ke perkampungan itu mendokumentasikan kemajuan tersebut. Orang-orang Indian itu mulai meninggalkan "powwow" mereka. Mereka mengadakan doa pagi dan malam di wigwam mereka. Mereka tidak hanya menjalankan hari Sabat, tetapi juga membuat peraturan untuk menghukum mereka yang tidak melaksanakannya. Hukuman bagi yang melanggarnya adalah dengan membayar sebesar 20 shilling. Mereka mulai menjadi suku yang industrial dan membuat komoditas untuk dijual selama setahun penuh. Pada musim dingin, mereka membuat sapu, tungku, gerabah, dan keranjang. Pada musim semi, mereka menjual buah cranberry, stroberi, dan ikan. Para wanitanya belajar memintal.
Hal yang dipikirkan oleh orang-orang itu dan juga Eliot adalah memiliki daerah yang dikhususkan bagi orang-orang Indian yang sudah Kristen. Menurut Eliot, para petobat baru ini harus dipisahkan dari orang-orang yang tidak tertarik dengan Injil. Di sisi lain, orang-orang Indian membutuhkan sebuah daerah yang dapat menjadi milik mereka, sebab para pendatang kulit putih mulai membangun rumah-rumah beserta pekarangannya dan memasang pagar. Hal tersebut membuat orang-orang Indian mengalami kesulitan dalam berburu dan mengail ikan. Eliot membuat permohonan atas nama orang-orang Indian kepada General Court (semacam Pengadilan Negeri), sehingga orang-orang Indian itu diberi beberapa ratus hektar di sebuah tempat yang berjarak 28,8 Km di sebelah Barat Daya Boston, di sudut wilayah Natick. Orang-orang Indian itu tidak menunjukkan keberatan untuk pindah ke daerah itu dan tak lama kemudian mereka mendirikan Natick, yang sering kali disebut sebagai "kota doa".
Natick bukanlah perkampungan Indian pada umumnya. Jalanan di sana tertata dan setiap keluarga diberi sebidang tanah. Berdasarkan dorongan Eliot, beberapa bangunan dibangun menurut gaya Eropa, tetapi sebagian besar orang-orang Indian itu memilih wigwam sebagai tempat tinggal mereka. Bentuk pemerintahan yang alkitabiah diterapkan di tempat itu, ditetapkan dengan berdasarkan pada rencana Yitro dalam Kitab Keluaran 18:21; kota itu dibagi-bagi menjadi puluhan, lima puluhan, dan ratusan, yang masing-masing divisi itu dipimpin oleh seorang pria dewasa. Peradaban orang kulit putih menjadi patokannya dan orang-orang Indian yang Kristen diharapkan mengikutinya. Bagi Eliot, kekristenan sejati tidak hanya mengubah hati dan pikiran, tetapi juga gaya hidup dan kebudayaan. Ia tidak dapat membayangkan sebuah komunitas Kristen yang terpisah dari budaya Eropa dan faktor inilah, yang jika dilihat ke belakang, merupakan kelemahan terbesar dari pelayanannya. Sayangnya, generasi-generasi misionaris yang mengikuti jejaknya, dengan beberapa pengecualian, melanggengkan kekeliruan tersebut.
Ada juga masalah yang muncul saat mendirikan Natick, terutama dari para pendatang kulit putih yang menolak hunian permanen Indian di antara mereka. Secara periodik, Eliot mengajukan petisi kepada Massachusetts General Court untuk meminta sebidang tanah. Pada tahun 1671, ia berhasil mengumpulkan 11.000 orang Indian ke dalam 14 "kota-kota doa". Pelayanannya benar-benar diteliti dengan cermat oleh General Court, dan dengan senang hati ia menerima semua dana masyarakat yang diperuntukkan bagi proyeknya.
Walaupun Eliot sepertinya banyak menghabiskan waktu dan usaha untuk masalah keduniawian, tetapi perhatian utamanya adalah keadaan rohani orang-orang Indian tersebut. Eliot lambat dan berhati-hati dalam penginjilannya. Walaupun ia menyaksikan pertobatan pertama hanya setelah ia berkhotbah sebanyak tiga kali, ia tidak pernah berusaha untuk mempercepat prosesnya. Kenyataannya, ia dengan sengaja menunda baptisan dan keanggotaan gereja, sampai ia benar-benar yakin bahwa orang-orang Indian itu berkomitmen terhadap kepercayaan baru mereka. Baptisan mereka sengaja ditunda hingga tahun 1651, 5 tahun setelah pertobatan pertama. Demikian pula dengan pembangunan gereja yang ditangguhkan, sampai Eliot dan rekan-rekan sepelayanannya memutuskan bahwa orang-orang Indian itu benar-benar siap menerima kantor gereja beserta tanggung jawabnya.
Eliot menginginkan kedewasaan rohani di antara pengikut Indiannya. Hal itu dapat menjadi kenyataan apabila orang-orang Indian itu bisa membaca dan mempelajari Alkitab dalam bahasa mereka sendiri. Oleh sebab itu, pada tahun 1649, 3 tahun setelah khotbahnya di wigwam Waban, di tengah-tengah jadwal yang sangat padat, ia memulai pekerjaan penerjemahannya. Proyek pertama yang selesai adalah sebuah katekismus yang dicetak pada tahun 1654. Tahun berikutnya, Kitab Kejadian dan Matius juga diterbitkan; dan pada tahun 1661, seluruh Perjanjian Baru berhasil diselesaikannya, dengan Perjanjian Lama yang menyusul dua tahun kemudian. Di balik pencapaiannya yang layak diperhatikan ini, Eliot juga mendapat kritik yang tajam karena ia menyia-nyiakan waktunya untuk mempelajari bahasa Indian, sementara ia dapat mengajarkan orang-orang itu untuk berbahasa Inggris.
Setelah beberapa tahun berlalu dan kota-kota doa bertumbuh secara kuantitas serta kerohanian orang-orang Indian itu bertumbuh, Eliot semakin berkonsentrasi untuk melatih para pemimpin orang-orang Indian. Sampai tahun 1660, sebanyak 24 orang Indian telah dilatih menjadi penginjil untuk melayani suku mereka sendiri, dan beberapa gereja telah menahbiskan para pelayan Indian. Sekolah-sekolah didirikan di setiap kota dan orang-orang Indian dapat beradaptasi dengan baik terhadap budaya Eropa. Di permukaan, masa depan terlihat cerah, tetapi waktu yang damai itu sudah hampir habis. Perambahan lahan milik orang-orang Indian oleh para pendatang Eropa selama berpuluh-puluh tahun tidak dapat ditutup-tutupi lagi. Perambahan lahan, perdagangan yang tidak adil, dan perlakuan yang buruk terhadap orang-orang Indian akan menimbulkan perlawanan. Terdapat kegelisahan di antara orang-orang Indian di Timur Laut, dan bahkan orang-orang Indian di kota-kota doa tidak dapat melarikan diri dari kengerian yang akan segera tiba -- pertempuran paling berdarah sepanjang sejarah koloni Amerika.
Perang Raja Philip pecah pada musim panas tahun 1675, setelah tiga dari ksatria kepala suku itu dijatuhi hukuman gantung karena membunuh seorang sekutu Indian, yang membocorkan rencana penyerangan mereka kepada gubernur koloni. Dalam peperangan ini, para pendatang yang menghuni koloni Boston hampir mengalami kekalahan yang sebelumnya telah dialami oleh sebagian besar koloni di Virginia. Bahkan sebelum pertempuran usai, dalam jangka waktu 1 tahun sejak dimulainya peperangan itu, tiga belas kota dan koloni benar-benar dimusnahkan. Seluruh anggota keluarga -- kakek dan nenek, bibi, paman, dan bahkan anak-anak kecil -- benar-benar dihapuskan dari buku daftar penghuni koloni.
Kisah kepahlawanan "orang-orang Indian yang berdoa" selama pertempuran berdarah ini adalah yang paling tragis -- kisah yang diceritakan berulang-ulang dalam sejarah Amerika. Walaupun "orang-orang Indian yang berdoa" ini memiliki keluhan-keluhan yang mendasar terhadap masalah perambahan lahan mereka oleh pendatang kulit putih, dan bahkan seperti yang diungkapkan dalam kalimat yang diucapkan Eliot "masalah tentang tanah ini bukanlah masalah yang sepele bagi mereka", orang-orang Indian itu tetap memihak sekutu kulit putih mereka dengan setia, ketika suku Wampanoag maupun ketika suku-suku yang lain menyerang mereka. Selain itu, orang-orang ini juga membantu milisi koloni tersebut dengan menjadi pengintai dan prajurit bagi mereka, sehingga mereka dapat membalikkan keadaan. Namun demikian, kesetiaan mereka tidaklah cukup, ketegangan di antara penduduk asli dan pendatang itu semakin meruncing. Pada saat itu, semua orang Indian dicurigai dan karena itulah ratusan orang-orang Indian Kristen diasingkan ke "sebuah pulau yang tandus", di dekat Pelabuhan Boston -- mereka "diusir keluar" bahkan sebelum dapat mengumpulkan harta benda dan dipaksa untuk bertahan selama musim dingin yang buruk tanpa makanan atau persediaan yang mencukupi.
Eliot mengunjungi orang-orang Indian tersebut beberapa kali selama musim dingin yang amat buruk itu, dan mengajukan permohonan atas nama mereka kepada pejabat koloni untuk mengirimkan makanan dan obat-obatan. Akan tetapi, perhatian dan simpatinya itu hanya dapat menghasilkan sedikit pertolongan saja. Meskipun demikian, nasib orang-orang Indian yang diasingkan ini masih lebih baik daripada saudara-saudara mereka yang tertinggal di koloni. Banyak dari mereka yang dibunuh tanpa pandang bulu oleh para pendatang, yang menuntut balas kepada siapa pun yang memiliki ciri-ciri seorang Indian. Ketika kekerasan itu berakhir, banyak dari orang Indian buangan yang selamat, yang kembali ke kota-kota mereka yang telah hancur. Mereka berusaha untuk membangunnya kembali, namun hidup mereka tak akan pernah sama seperti dulu. Orang-orang Indian itu kini melemah, baik secara jumlah maupun secara rohani. Tak sedikit dari mereka tergoda minuman keras yang dibawa orang-orang kulit putih dan tidak lagi peduli dengan hal-hal yang rohani.
Perang Raja Philip adalah sebuah tragedi bagi orang-orang Indian dan orang-orang kulit putih yang terlibat secara langsung, termasuk bagi seorang kudus yang kini telah berumur 72 tahun. John Eliot telah mencurahkan bertahun-tahun pelayanan yang tanpa pamrih itu ke dalam pelayanan misionarisnya, dan sangat sulit baginya untuk melihat kehancuran yang ditimbulkan oleh perang itu. Tetapi ia tak menyerah, "Aku hanya dapat melakukan hal yang kecil, tetapi aku tetap teguh di dalam anugerah Kristus, aku tidak akan pernah berhenti melayani selama aku masih memiliki kaki untuk pergi melayani." Setelah tahun-tahun berlalu, karyanya semakin berkurang, tetapi ia tetap setia kepada pelayanannya sampai kematiannya pada tahun 1690, dalam usia 85 tahun.
Walaupun banyak dari hasil pelayan Eliot yang rusak akibat peperangan, posisinya sebagai seorang negarawan sekaligus misionaris di tingkat tinggi tetap tak ternodai. Teladannya sebagai seorang penginjil dan penerjemah Alkitab telah membuka jalan bagi usaha misionaris selanjutnya untuk melayani di antara orang-orang Indian, dan usahanya dalam mendirikan Society for the Propagation of the Gospel (SPG), sebuah perpanjangan tangan gereja Anglikan yang secara aktif melayani di tengah-tengah koloni Amerika, tidak dapat diremehkan.
Apa yang menjadi rahasia di balik pelayanan seumur hidup Eliot? Apa yang membawanya melewati perlawanan, kesulitan, dan kekecewaan selama bertahun-tahun? Tiga sifat yang layak diperhatikan dari dirinya yaitu: optimismenya yang tak terpatahkan, kemampuannya untuk dapat memerhatikan kebutuhan sesamanya, dan keyakinannya yang teguh bahwa Tuhanlah, bukan dirinya, yang dapat menyelamatkan jiwa seseorang sekaligus memegang kendali atas setiap peristiwa, baik maupun buruk. (t/Yudo)
Diterjemahkan dan disunting dari:
Judul Buku: From Jerusalem to Irian Jaya
Penulis: Ruth A. Tucker
Penerbit: Zondervan Corporation, Grand Rapids Michigan
Halaman: 84 -- 89
"A BAD CONSCIENCE HAS A GOOD MEMORY"
Kontak: < jemmi(at)sabda.org >
Redaksi: Novita Yuniarti dan Yosua Setyo Yudo
Tim editor: Davida Welni Dana, Berlian Sri Marmadi, dan Santi Titik Lestari
(c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/misi >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org >