Anda terdaftar dengan alamat: iklanmdo.kristen@blogger.com
e-Wanita -- Mengatasi Rasa Kesal
Edisi 99/Januari 2013
Shalom,
Selamat Tahun Baru 2013, Sahabat Wanita. Kami berharap e-Wanita akan bisa menemani Anda sepanjang tahun ini dengan menghadirkan berbagai bahan bacaan yang bermanfaat.
Bagaimana suasana hati Sahabat Wanita pada tahun yang baru ini? Pastinya penuh dengan sukacita, ya? Tetapi, apakah ada juga yang sedang merasakan kekesalan? Setiap kita tentu pernah merasa jengkel terhadap orang lain, entah itu suami, anak, teman, tetangga, bahkan orang yang baru pertama kali kita jumpai. Apa yang menyebabkan seseorang menjadi jengkel? Apa yang Alkitab katakan tentang rasa jengkel? Apa yang seharusnya anak-anak Tuhan lakukan jika ada seseorang yang membuatnya jengkel? Jangan menyimpan rasa jengkel dan kesal lama-lama di dalam hati Anda. Mari kita tepis semua itu dengan firman Tuhan dan kasih-Nya. Dengan menyimak artikel-artikel yang kami sajikan dalam edisi ini, kiranya hari-hari Anda selanjutnya lebih menyenangkan dan bebas dari rasa kesal. Tuhan Yesus memberkati.
Redaksi Tamu e-Wanita,
Novita Yuniarti
< http://wanita.sabda.org/ >
RENUNGAN WANITA: HATI YANG MENGAMPUNI (MAZMUR 25:18)
Suatu saat dalam kehidupan ini, kita semua mengalami pengkhianatan yang menyakitkan dari seorang teman; dan juga mengalami rasa sakit dan kekecewaan yang ditinggalkan oleh pengkhianatan itu. Saat hal ini terjadi, wajar apabila kita merasakan gelombang amarah kian meninggi di dalam hati kita. Bahkan, kita mungkin ingin balas dendam. Tidak ada sesuatu pun dari pengalaman ini yang membuat kita nyaman. Pengalaman itu membuat kita merasa gelisah, terganggu, pedih, dan tegang yang disertai dengan dorongan fisik untuk melakukan pembalasan.
Saat semua hal ini terjadi, ingatlah untuk mengambil napas yang dalam dan membiarkan semuanya itu berlalu. Ya, biarkan itu berlalu! Sama seperti Tuhan yang telah berulang kali mengampuni kita untuk semua sikap buruk kita terhadap-Nya, Ia akan membantu menyembuhkan rasa sakit itu dan membersihkan amarah dari hati kita. (t/Berlin B.)
Diterjemahkan dari:
Judul buku: Psalms for Women: God's Gifts of Inner Beauty, Peace, and Happiness
Judul asli artikel: The Forgiving Heart
Penulis: Tidak dicantumkan
Penerbit: Honor Books, Tulsa, Oklahoma 2000
DUNIA WANITA 1: MENJADI KESAL DAN MUDAH TERSINGGUNG
Aku kesal! Apakah ini benar-benar suatu dosa, ataukah semata-mata suatu kesalahan kecil dalam diri seseorang yang dapat dilakukan oleh setiap manusia? Firman Allah memberitahukan kepada kita apa yang dapat ditimbulkan oleh hal ini. Matius 15:12 menceritakan tentang bagaimana pekerjaan Tuhan Yesus menjadi batu sandungan bagi orang-orang Farisi. Mula-mula mereka "hanya" kesal, akan tetapi betapa hebat akibatnya! Penduduk kota Nazaret, tempat Ia dibesarkan, merasa dihina oleh sabda-Nya. Lalu, mereka menghalau Tuhan Yesus dan berusaha membunuh Dia dengan cara melemparkan Dia dari tebing gunung (Lukas 4:29). Kejengkelan seperti itulah yang menyebabkan Tuhan Yesus sangat menderita, dan mereka yang bersangkutan melakukan kesalahan besar. Pada masa kini, hal tersebut juga mendatangkan akibat yang serupa.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat akibat-akibat yang menggemparkan dari "dosa yang agaknya tidak berbahaya ini". Betapa sering suatu hubungan kasih terganggu oleh karena seseorang merasa jengkel, lalu saling mempersalahkan. Contoh lain, banyak pernikahan hancur karena suami atau istri selalu marah ketika mereka memperbincangkan sesuatu.
Apa yang dapat membuat kita jengkel? Karena kita tidak bersatu dengan kehendak Allah; karena ego kita sendiri. Segala sesuatu harus sesuai dengan maksud kita. Jika tidak sesuai dengan maksud kita, maka hal tersebut mengacaukan pikiran kita. Kita tidak menyadari bahwa segala sesuatu, kecil atau besar, yang datang dari manusia sesungguhnya diletakkan oleh Tuhan dalam kehidupan kita sehari-hari. Apabila pikiran kita menjadi kacau, maka kita memberontak terhadap Tuhan, dan ini mendukakan Dia.
Perasaan jengkel atau mudah tersinggung sifatnya sama seperti marah. Orang yang mudah jengkel, kemungkinan adalah seorang pemarah. Jika kita membiasakan hal tersebut menguasai kita, maka kita telah menjadi alat Iblis yang merusak persekutuan kasih. Selain itu, jika kita tidak dapat menguasai diri kita, maka kita telah melakukan tindakan yang berlawanan dengan kehendak Allah.
Kita sering berusaha meminta maaf karena kita jengkel. Kita mengatakan bahwa hal itu disebabkan syaraf kita yang lemah atau kita sedang merasa "putus asa". Perasaan mudah tersinggung dan jengkel, sebenarnya keluar dari hati kita yang jahat dan tidak ada sangkut-pautnya dengan kelelahan atau syaraf yang lemah.
Kita menyadari bahwa ada banyak hal yang bisa membuat kita mudah tersinggung, namun kita sering menganggapnya sebagai sesuatu yang lazim dan bukan dosa. Untuk itu, kita harus membawa hal-hal tersebut kepada-Nya, serta bersandar pada penebusan Tuhan Yesus dan darah-Nya yang mengandung kesembuhan bagi setiap dosa. Dengan demikian, kita akan merasa malu saat kita menjadi jengkel. Kita seharusnya mengetahui bahwa kita mendukakan Tuhan Yesus dan berbuat salah karena merusak sebagian dari kerajaan-Nya.
Jika kita mulai merasa kesal, kita harus menghadapinya dan berkata, "Tuhan telah menetapkan hal ini. Keadaan ini, kata-kata ini, orang ini, atau apa pun adanya, sesungguhnya didatangkan oleh Tuhan kepadaku. Ini adalah sebagian dari rencana-Nya." Jika hal itu terjadi dalam suatu situasi yang genting sehingga mengakibatkan kita "meledak" dalam sebuah pembicaraan, segeralah meminta maaf. Hal membenci dosa dan merasa menyesal karena dosa, akan mendorong kita untuk menyelesaikan hal itu dengan Tuhan dan mengatakan kepada-Nya bahwa kita telah menjadi kesal hati. Jika kita mohon pengampunan kepada Tuhan Yesus, kita juga harus bersedia untuk bertobat secara konkret dan meminta maaf kepada mereka yang kita sakiti.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buletin: Gema Kalvari, Edisi 67, Mei -- Juni 2006
Penulis: LKS
Penerbit: Lembaga Pelayanan Terpadu "GEMA KALVARI", Salatiga
Halaman: 15 -- 18
DUNIA WANITA 2: BELAJAR MENGAMPUNI
Pengampunan tidak dimaksudkan untuk keuntungan diri kita saja. Kita harus menjadi saluran dari kasih Allah. Kita yang telah mendapat pengampunan harus menjadi orang yang mau mengampuni -- mengampuni sesama atas kesalahan dan ketidakadilan yang mereka lakukan terhadap kita. Masing-masing kita perlu belajar untuk mengampuni (Matius 6:12; Efesus 4:32).
Kristus berharap agar kita mengampuni orang lain dengan sepenuhnya dan dengan rela (hati), dengan cara yang sama sebagaimana Dia mengampuni kita. Ia bercerita tentang pengampunan dan ketidaksediaan untuk mengampuni dalam Matius 18:23-35. Perikop ini berkenaan dengan seorang penguasa yang menjumpai salah satu hambanya yang berutang padanya sebesar 10.000 talenta. Ini adalah jumlah yang besar! Jumlah yang tak mungkin terbayar, bahkan kalau hamba itu bekerja seumur hidupnya untuk hal itu. Raja adalah gambaran dari Bapa Surgawi, sedangkan hamba adalah gambaran dari kita.
Karena hamba itu tidak memiliki apa pun untuk membayar utangnya, penguasa itu memerintahkan supaya ia, keluarganya, dan semua yang ia miliki, dijual. Maka sujudlah hamba itu menyembah tuannya. Hamba itu seharusnya sudah mengetahui ketidakmampuannya dan kira-kira berkata seperti ini, "Maafkanlah kiranya atas utang-utang itu. Aku mohon, janganlah menjual aku, keluargaku, dan milikku; kalau pun tuan mengambil itu semuanya, belumlah cukup untuk melunasi utangku." Tapi hamba itu tidak mengatakan begitu. Dia berkata, "Sabarlah dahulu, segala utangku akan kulunaskan." Acap kali dalam diri kita ada kecenderungan untuk menaruh percaya pada diri sendiri, merasa sombong dalam perkara-perkara yang kita kira dapat kita kerjakan. Sikap seperti ini tidak benar. Kita tak dapat berbuat sesuatu tanpa anugerah Allah.
Lalu tergeraklah hati tuan itu oleh belas kasihan, sehingga ia membebaskannya dari utangnya dan mengampuninya. Kemudian hamba itu keluar dan bertemu dengan seorang hamba lain (kawannya) yang berutang sedikit padanya -- 100 dinar (satu dinar sama dengan gaji satu hari). Hamba yang telah diampuni tersebut (hamba pertama) tidak mau mengampuni kawannya yang berutang padanya sebagaimana ia telah mendapat pengampunan, meskipun kawannya membuat permohonan yang sama seperti seperti dirinya. Hamba yang pertama tidak menaruh belas kasihan sedikit pun dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara, sehingga ia tidak akan mampu melunasi utangnya. Ada orang-orang, yang kalau saja kita mau bersabar terhadap mereka, ada kemungkinan anugerah Allah akan bekerja dalam diri mereka, mereka dapat berubah. Allah dapat mengubah mereka untuk hal-hal yang bagi kita tak dapat diampuni dan diterima.
Apa yang terjadi atas hamba yang telah mendapat pengampunan total, tetapi tidak mau mengampuni yang sedikit? Tuannya mendapati apa yang telah dia perbuat dan menyerahkan hamba yang jahat itu kepada algojo-algojo. Yesus tidak mengajarkan bahwa orang-orang Kristen yang tidak mengampuni orang lain tidak akan masuk surga, tetapi Tuhan mengajarkan bahwa dengan ketidaksediaan kita untuk mengampuni orang lain, akan mendatangkan banyak kesusahan dan siksaan bagi diri kita sendiri selama di dunia ini. Kita akan menjumpai bahwa kepahitan, kemarahan, dan ketidaksediaan untuk mengampuni, akan membuat tuntutan yang dahsyat atas kita secara jasmani dan emosi. Kita akan menjadi aus, bahkan menderita sakit jasmani, sebab hati kita penuh kebencian dan kepahitan.
Pada hakikatnya, kita bukanlah orang yang suka mengampuni orang lain. Kalau seseorang berbuat salah kepada kita, kita cenderung ingin membalasnya. Paulus mengingatkan, "Janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan" (Roma 12:19). Bila kita membiarkan pikiran-pikiran yang tidak mengampuni tinggal dan tumbuh dalam hati kita, hal-hal ini akan menumbuhkan akar kepahitan (Ibrani 12:15).
Jauh lebih baik mengampuni dan melupakan daripada membenci dan mengingatnya. Meskipun hal tersebut tidaklah mudah dilakukan, namun hanya oleh anugerah Allah dan kuasa Roh Kudus, kita dapat mengampuni. Kita dapat mendoakan orang yang telah bersalah kepada kita. Dengan cara ini, kita menaruh berkat atas mereka dan bukan kutuk, memberi mereka yang baik bukan yang jahat (Amsal 19:11).
Jangan biarkan kesalahan yang dilakukan satu hari berkelanjutan menjadi dendam, suatu ketidaksediaan untuk mengampuni. Tiap hari, kita harus berlatih untuk mengampuni (Efesus 4:26).
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul majalah: Hidup dalam Kristus, Vol.18 No.2
Penulis: Tidak dicantumkan
Penerbit: Yayasan Pusat Hidup Baru, Solo
Halaman: 14 -- 15
Kontak: wanita(at)sabda.org
Redaksi: S. Setyawati dan N. Risanti
Berlangganan: subscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-wanita/arsip/
BCA Pasar Legi Solo, No.0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >