Anda terdaftar dengan alamat: iklanmdo.christ@blogger.com
e-JEMMi -- Misi dan Natal (II)
No. 31, Vol. 16, Desember 2013
Shalom,
Akhirnya, kita sampai juga di penghujung tahun ini. Sudah banyak yang kita lalui dalam pekerjaan dan pelayanan kita sehingga ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk menoleh sebentar ke belakang dan bersyukur atas pertolongan Tuhan. Pada kesempatan ini, izinkanlah segenap staf redaksi e-JEMMi untuk mengucapkan:
"Selamat Merayakan Natal 2013 dan Menyongsong Tahun Baru 2014!"
Kiranya berita anugerah yang disampaikan melalui kelahiran Yesus Kristus semakin membuat kita mengasihi Dia, yang telah terlebih dahulu mengasihi kita.
Selamat membaca sajian kami dalam edisi ini, Tuhan Yesus menyertai kita sekalian. Amin!
Pemimpin Redaksi e-JEMMi,
Yudo
< yudo(at)in-christ.net >
< http://misi.sabda.org/ >
TOKOH MISI: OLAUDAH EQUIANO (1745 -- 1797)
Salah satu "literatur budak" mula-mula yang terkenal ditulis oleh seorang pemuda dari suku Igbo yang dijual kepada perbudakan oleh kaumnya sendiri pada umur sebelas tahun. Sejak muda, Olaudah Equiano menjalani hidupnya sebagai seorang budak di sebuah perkebunan di Hindia Barat dan Virginia. Ia juga pernah bekerja di angkatan laut Inggris Raya dan pada sebuah kapal pedagang budak yang dikepalai oleh seorang pedagang dari kaum Quaker sebelum membeli kemerdekaannya pada tahun 1766. Setelah merdeka, Equiano aktif dalam pergerakan anti perbudakan, menjadi seorang Kristen, melanjutkan pendidikan untuk melayani Tuhan, menikahi seorang wanita Inggris, mengajukan petisi anti perbudakan kepada Ratu Inggris, dan giat mengajar di Kepulauan Inggris.
Bukunya yang berjudul "The Interesting Narrative of the Life of Olaudah Equiano, or Gustavus Vassa, the African, Written by Himself" diterbitkan pertama kali pada tahun 1789. Buku ini dibaca oleh banyak orang di Inggris, di antara kaum penentang perbudakan. John Wesley, sang pendiri aliran Methodis, juga membaca buku itu; Wesley, yang juga seorang penentang perbudakan, mengatakan tentang buku itu: "[Buku ini] lebih berguna bagi kami, daripada bagi setengah populasi negeri ini." Buku karya Equiano ini bahkan mencapai 8 edisi selama ia hidup, dan menjadi buku pelarap internasional.
Selama hidupnya, Equiano pernah mengalami kapal karam di kepulauan Karibia, terjebak di padang es Arktik, menjadi saksi meletusnya gunung Vesuvius, serta bertemu dengan beberapa pemimpin agama dan perjuangan hak asasi manusia pada zamannya. Equiano juga dikenal sebagai seorang pria yang rendah hati, cerdik, tetapi bersahaja. Ia menganggap dirinya "bukan seorang suci, bukan seorang pahlawan, atau seorang penindas". Equiano belajar baca-tulis ketika menjadi budak di sebuah kapal milik Inggris. Seorang perwira Inggris membelinya pada tahun 1757, dan dalam perjalanan ke Inggris, Equiano berteman dengan seorang kulit putih dari Virginia bernama Richard Baker, yang mengajarinya baca-tulis.
Kisah pertumbuhan pribadinya berjalan seiring dengan kisah perjalanannya yang terkenal itu. Sebenarnya, ia berharap perwira yang membelinya itu membebaskannya. Namun, sang perwira justru menjual Equiano lebih jauh lagi ke dalam perbudakan, kali ini kepada seorang saudagar dari kaum Quaker yang usahanya adalah berdagang gula dan budak antara Hindia Barat dan Amerika Selatan. Tuannya yang baru ini, Robert King, mempromosikan Equiano kepada posisi-posisi yang semakin penting dalam perusahaannya sehingga Equiano dapat membeli kebebasannya pada tanggal 10 Juli 1766.
Dalam bukunya, ada sebuah benang merah yang menceritakan tentang kerohaniannya, hal itu dimulai dari pengamatannya terhadap agama dalam budaya Igbo:
"Sama seperti dalam agama lainnya, orang-orang dari suku saya memercayai adanya Pencipta atas segala sesuatu, dan bahwa Sang Pencipta itu tinggal di matahari. Sang Pencipta juga tidak pernah membutuhkan makanan atau minuman, tetapi kami percaya bahwa Ia juga mengisap pipa, sebuah kebiasaan yang juga kami sukai. Kami percaya bahwa Ia juga mengatur setiap peristiwa, terutama kematian. Dan, meskipun saya tidak pernah mendengar apa pun tentang doktrin kekekalan atau semacamnya dalam kepercayaan kami, sebagian orang dalam suku kami percaya bahwa roh-roh orang mati akan pindah ke suatu tempat. Namun, ada juga roh-roh yang menurut kepercayaan kami tidak akan pindah ke tempat itu, misalnya saja roh para sahabat atau saudara-saudara kami. Kami percaya bahwa roh-roh itu akan terus bersama-sama kami dan melindungi kami dari roh jahat, maupun dari musuh-musuh kami."
Pada saat kunjungannya yang pertama di Inggris pada tahun 1757 -- 1758, dua orang wanita, Guerin bersaudara, memperkenalkan kekristenan kepada Equiano. Kisah Perjanjian Lama benar-benar menarik hatinya karena apa yang dialami bangsa Israel mirip dengan apa yang dialami oleh bangsa Afrika pada saat itu. Selain itu, sebuah penglihatan tentang Kristus yang mati untuk menyelamatkannya saat ia berlayar menuju Cardiff pada 6 Oktober 1744 menjadi sebuah titik pertobatan Equiano. Selain pengalaman itu, ada sebuah rasa bersalah yang turut membentuk kerohanian Equiano, yaitu ketika ia gagal menyelamatkan John Annis, seorang sahabatnya, dari kematian yang mengerikan di Hindia Barat. Peristiwa itu bermula ketika Annis (dengan pertolongan Equiano) mengajukan petisi kepada pengadilan Inggris untuk menuntut kemerdekaannya. Dalam petisi itu, Annis mengajukan klaim bahwa pada saat ia menginjak tanah Inggris, ia akan menjadi orang merdeka (karena pada saat itu, sistem perbudakan tidak berlaku di Inggris). Akan tetapi, tanpa menunggu keputusan pengadilan, majikan Annis melarikannya ke Hindia Barat dan menyiksanya sampai mati.
Pada tahun 1779, Equiano (yang sudah menjadi orang merdeka) mengajukan permohonan kepada uskup London untuk menjadi misionaris ke Afrika Barat. Akan tetapi, permintaannya ditolak oleh uskup tersebut. Equiano mengetahui inti dari pergerakan anti perbudakan di Inggris, dan ia juga tahu bahwa karyanya akan menjadi senjata yang penting di tangan mereka sebab karya itu adalah sebuah tulisan dari seorang budak yang menyaksikan sendiri kekejaman dari sistem perbudakan. Pada tahun 1788, pergerakan anti perbudakan mendapat momentumnya, dan puluhan ribu tanda tangan mengalir menuju sidang parlemen. Pada 21 Maret 1788, Equiano membacakan petisinya di hadapan Ratu Charlotte, permaisuri Raja George III. Pada masa-masa itulah, lawan dari pergerakan ini mencoba untuk mendiskreditkan karya Equiano. Mereka mengatakan bahwa penulisnya tidak berasal dari Afrika, melainkan dari Hindia Barat. Akan tetapi, usaha mereka sia-sia. Karya itu tetap bertahan sebagai "literatur budak" yang utama dan bersanding dengan karya-karya budak lainnya seperti "The Narrative of the Life of Frederick Douglass, an American Slave, Written by Himself".
"Ya Tuhan, Engkau menciptakan kami serupa dengan gambar-Mu dan menebus kami melalui Yesus, Anak-Mu. Tujukanlah pandangan-Mu yang penuh belas kasihan kepada setiap keluarga manusia. Singkirkanlah keangkuhan dan kebencian yang menggerogoti hati kami. Runtuhkanlah tembok-tembok yang memisahkan kami, satukanlah kami dengan ikatan kasih, dan berkaryalah dalam setiap perjuangan serta kekeliruan kami agar kehendak-Mu dinyatakan di bumi. Lakukanlah semuanya itu supaya, sesuai dengan waktu-Mu, setiap bangsa dan suku-suku bangsa dapat melayani-Mu dalam sebuah harmoni di sekitar takhta surgawi-Mu. Dalam nama Yesus Kristus, Tuhan kami. Amin." -- "Prayer Book and Hymnal", hlm. 815 (t/Yudo)
Diterjemahkan dan disunting dari:
Nama situs: Dictionary of Christian African Biography
Alamat URL: http://www.dacb.org/stories/nigeria/equiano_olaudah.html
Judul asli artikel: Olaudah Equiano
Penulis: Frederick Quinn
Tanggal akses: 7 Desember 2013
PROFIL BANGSA: DENDI, DANDAWA DI BENIN
Pendahuluan
Suku Dendi tinggal di kawasan paling Utara Benin, terutama di dataran subur dekat sungai Niger. Sebagian dari suku ini tinggal di tempat yang dikelilingi rerumputan yang tinggi, langka air, dan minim pepohonan. Komunitas-komunitas Songhai dalam jumlah yang cukup besar dapat ditemukan juga di negara-negara sekitar Benin seperti di Nigeria, Niger, Burkina Faso, dan Mali.
Nenek moyang semua orang Dendi dan Songhai dapat dilacak asal usulnya, yaitu dari kerajaan Za yang muncul pada abad ke-8. Mereka memeluk agama Islam sejak tahun 1010, tetapi agama itu akhirnya bercampur dengan kepercayaan asli mereka. Dinasti Za bertahan hingga akhir abad ke-16 sampai akhirnya ditaklukkan oleh Sultan Maroko.
Suku Dendi adalah salah satu dari 70 kelompok suku yang bermukim di Benin, yang adalah negara non-Muslim terbesar di Sahara yang belum terjangkau oleh Injil. Negara kecil ini diperkirakan memiliki pemeluk kepercayaan tradisional tertinggi di dunia meskipun agama mayoritas mereka adalah Islam.
Seperti apa kehidupan mereka?
Orang-orang Dendi tinggal di rumah-rumah yang biasanya terbuat dari tanah liat dengan atap jerami. Namun, akhir-akhir ini mulai banyak orang Dendi yang mengganti atap mereka dengan atap seng. Pemukiman orang Dendi yang tinggal di sekitar sungai Niger memiliki banyak sawah dan petak-petak kebun, sementara desa-desa yang terletak agak jauh dari sungai biasanya dikelilingi oleh tanaman perdu dan ladang. Biasanya, ladang mereka menghasilkan kacang tunggak, kacang tanah, dan ubi kayu. Namun, pada musim hujan yang pendek seperti pada bulan Juni sampai September, orang-orang Dendi menanam jawawut (jelai) di ladang mereka. Orang Dendi menganggap bertani adalah sebuah pekerjaan yang mulia, dan hanya diperbolehkan untuk kaum laki-laki. Sebagai gantinya, kaum perempuan memiliki sebuah kebun yang dapat mereka kerjakan, yang biasanya ditanami pohon mangga, jambu biji, jeruk, pepaya, kurma, dan pisang selama musim panas. Selain pohon buah-buahan, mereka juga menanam berbagai jenis sayur-sayuran seperti wortel, tomat, lada, kubis, dan beberapa jenis labu. Sebagian besar perawatan kebun itu dilakukan oleh setiap anggota keluarga. Di samping bertani, orang-orang Dendi juga biasanya memelihara ternak.
Komunitas suku Dendi berjalan dalam sistem patrilineal, yaitu bahwa setiap laki-laki dalam suku ini berasal dari satu nenek moyang laki-laki yang sama. Setiap anak sulung laki-laki dalam keluarga bangsawan suku Dendi hanya boleh menikah dengan anak perempuan dari saudara ayah mereka untuk mempertahankan kemurnian keturunan mereka. Seorang laki-laki dalam suku ini biasanya menikah setelah mereka berumur 20 tahun ke atas, sedangkan anak-anak perempuan dinikahkan sejak mereka berumur belasan tahun. Dalam kebudayaan suku Dendi, setiap anak adalah milik keluarga laki-laki. Meskipun hukum syariah memperbolehkan poligami, tetapi kebanyakan orang Dendi hanya memiliki satu istri karena alasan ekonomi. Namun, jika ada orang Dendi yang memiliki dua orang istri, kedua istri itu tinggal di rumah yang berbeda dalam satu kompleks keluarga.
Apa kepercayaan mereka?
Hampir semua orang Dendi menganut agama Islam. Akan tetapi, meskipun Islam menambahkan elemen-elemen tertentu dalam budaya suku Dendi, agama ini tidak dapat menyentuh dasar dari budaya dan tradisi asli mereka. Secara kasat mata, agama Islam dianggap penting oleh masyarakat Dendi, hal ini dapat dilihat dari jumlah rumah ibadah yang dibangun di negara ini -- setiap kota di Benin memiliki rumah ibadah, dan beberapa komunitas suku ini memiliki imam yang mengajarkan tentang filsafat Islam. Selain itu, mereka juga taat melaksanakan hari raya Islam. Namun di lain pihak, okultisme, sihir, tenung, dan penyembahan kepada nenek moyang masih menjadi bagian inti dari budaya orang Dendi. Hampir setiap desa memiliki dukun dan tukang tenung. Di beberapa tempat, upacara yang melibatkan roh-roh jahat dirayakan setidaknya sekali dalam seminggu. Upacara adat yang paling penting adalah upacara "Genji bi Hori" (sebuah festival yang di dalamnya masyarakat Dendi mempersembahkan kurban kepada roh kegelapan yang berkuasa untuk menyebarkan wabah penyakit) dan "Yenaandi" (tarian hujan). Kedua upacara ini dilaksanakan pada musim kemarau. Mereka juga memiliki "marabout" (orang suci dalam agama Islam) yang bertugas memimpin doa bersama dan menyembuhkan orang sakit.
Apa kebutuhan mereka?
Secara umum, orang Dendi menjalani hidup yang sederhana, tetapi berkecukupan. Akan tetapi, keadaan dapat menjadi sulit ketika mereka dilanda bencana kekeringan yang sering kali terjadi dan mengakibatkan kematian. Kekurangan gizi juga menjadi masalah bagi banyak komunitas Dendi. Tim medis dan para sukarelawan Kristen sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Dendi.
Saat ini, ada beberapa literatur Kristen yang tersedia dalam bahasa Dendi, tetapi hampir seluruh bangsa yang Tuhan kasihi ini belum pernah mendengar pekabaran Injil. Doa adalah kunci utama untuk menjangkau mereka demi Kristus. (t/Yudo)
Pokok Doa:
1. Mintalah kepada Allah agar Ia mengirimkan para penyuluh pertanian, pendidik, dan tenaga medis untuk memenuhi kebutuhan jasmani masyarakat Dendi.
2. Berdoalah kepada Allah supaya siaran radio Kristen dan literatur penginjilan dapat tersedia bagi orang-orang Dendi.
3. Mintalah kepada Allah supaya Ia berkenan menyelamatkan para pemimpin kunci dalam masyarakat Dendi agar mereka dapat dengan berani menyatakan Injil bagi suku mereka.
4. Doakanlah orang-orang Dendi yang sudah percaya agar Tuhan menguatkan, memberi semangat, dan melindungi mereka.
5. Mintalah kepada Allah supaya Ia membangkitkan para pendoa syafaat yang setia berdoa sebagai perantara bagi orang-orang Dendi.
6. Mintalah kepada Allah agar Ia mengaruniakan gereja Dendi yang berkemenangan demi kemuliaan nama-Nya!
Diterjemahkan dan disunting dari:
Nama situs: Joshua Project
Alamat URL: http://www.joshuaproject.net/people-profile.php?peo3=11533&rog3=BN
Penulis: tidak dicantumkan.
Tanggal akses: 8 Desember 2013
Kontak: jemmi(at)sabda.org
Redaksi: Yudo, Amidya, dan Yulia
Berlangganan: subscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/misi/arsip
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >