Anda terdaftar dengan alamat: iklanmdo.kristen@blogger.com
e-Konsel -- Keterlibatan Konselor
Edisi 329/Januari 2013
Shalom,
Dalam pelayanan konseling, seorang konselor sering kali dituntut untuk terlibat lebih jauh dalam kehidupan konselinya. Hal tersebut kadang diperlukan untuk menolong konseli mengetahui akar masalah mereka dan juga demi efektivitas proses konseling. Namun demikian, konselor harus tetap memerhatikan batas-batas keterlibatannya dalam kehidupan konseli. Sejauh mana seorang konselor boleh melibatkan diri dalam kehidupan pribadi konseli? Kami mengajak Anda menyimak sajian kami tentang topik ini. Kami berharap, edisi e-Konsel kali ini memberkati dan semakin memotivasi Anda, untuk melakukan tugas pembimbingan sesuai dengan kebenaran firman Tuhan. Tuhan memberkati.
Pemimpin Redaksi e-Konsel,
S. Setyawati
< setya(at)in-christ.net >
< http://c3i.sabda.org/ >
CAKRAWALA: KETERLIBATAN KONSELOR
Perubahan tidak terjadi secara kebetulan, namun merupakan keputusan. Banyak orang berbicara tentang keinginan untuk menyelesaikan berbagai masalah yang mereka hadapi dan berubah demi kebaikan. Namun, hanya sedikit orang yang mau membuat komitmen yang diperlukan untuk mencapai semua itu. Oleh karena itu, konseling alkitabiah harus membuat seseorang bertindak, bukan sekadar kata-kata belaka. Dan, bagian penting dari proses ini adalah meyakinkan (Amsal 14:23).
Merumuskan Arti Meyakinkan
Dalam konseling alkitabiah, yang dimaksud dengan meyakinkan adalah memotivasi konseli agar mau membuat keputusan-keputusan alkitabiah yang dapat mendatangkan perubahan. Motivasi ini meliputi proses-proses berikut ini:
1. Menolong konseli menerima tanggung jawab pribadi atas semua hasrat dan motivasi, pemikiran, sikap, perasaan, kata-kata, dan tindakan.
Para konseli perlu berhenti menyalahkan berbagai situasi dan orang lain atas munculnya semua masalah mereka. Mereka perlu menyadari bahwa melalui sumber daya yang tersedia di dalam Kristus, mereka dapat berubah.
2. Membawa konseli untuk merealisasikan perubahan alkitabiah yang melibatkan keputusan pribadi.
Seseorang tidak akan pernah berubah sebelum ia mengambil keputusan bahwa ia akan berubah. Sebenarnya, penyebab kegagalan seseorang untuk berubah -- meski Tuhan telah memberikan berbagai sarana yang diperlukan untuk berubah -- sering kali adalah keputusan orang itu sendiri untuk tetap berada dalam kondisi kalah. Saat ia berkata, "Saya tidak dapat," sebenarnya yang ia maksudkan ialah, "Saya tidak mau."
3. Mengembangkan suatu kepedulian terhadap dosa hati dan dosa perilaku.
Perubahan alkitabiah yang berkenan kepada Tuhan dalam hal perilaku harus selalu dimulai dengan perubahan hati. Tuhan memanggil kita supaya kita mengoyak hati, bukan hanya pakaian kita; supaya menyucikan hati serta membersihkan tangan kita; serta memuliakan dan mencari-Nya dengan hati kita, bukan hanya dengan bibir kita. Ia menghendaki kita bertobat dari segala dosa hati (pikiran, sikap, hasrat, motivasi, dan niat), bukan hanya menyesali semua tindakan atau reaksi yang tidak alkitabiah. Tidak ada yang dapat menggantikan pertobatan dan perubahan hati yang dapat menyenangkan Tuhan, serta membawa perubahan yang sebenarnya dan abadi.
4. Pastikan konseli mau berkomitmen untuk memadamkan semua hasrat, pikiran, dan tindakan yang menghalangi perubahan alkitabiah. Kemudian, gantikan semua itu dengan yang dapat mengembangkan perubahan alkitabiah. Konseling dapat dikatakan benar-benar berhasil jika tujuan ini tercapai.
Kita harus ingat bahwa tujuan akhir konseling adalah mendorong konseli agar mau mengikatkan diri pada berbagai pikiran dan perilaku yang alkitabiah di setiap bidang kehidupannya. Dalam konseling, kita mungkin selalu setia menanamkan semua prinsip untuk menolong konseli, tetapi bagian meyakinkan konseli memang sulit dilakukan. Kalau begitu, komitmen seperti apa yang perlu kita sarankan kepada konseli?
Merumuskan Komitmen
Komitmen alkitabiah yang perlu disarankan setidaknya mencakup enam faktor berikut:
1. Mengakui tanggung jawab pribadi atas semua pikiran dan tindakan.
Konseli tidak akan mampu berubah selama ia selalu berdalih, menyalahkan, menalarkan, atau membela perilakunya yang berdosa. Konselor harus membantu konseli memahami tanpa memandang kondisinya. Apabila ia seorang Kristen, ia akan dapat menanggapi secara alkitabiah dengan bantuan Roh Kudus.
2. Putuskan untuk melihat semua kondisi masa lalu dan kondisi saat ini dari sudut pandang alkitabiah.
Hikmat dan perasaan manusia sering kali menghalanginya dari memandang segala hal seperti yang dikehendaki Tuhan. Manusia perlu menafsirkan situasi yang dihadapinya dengan kacamata Alkitab, bukan dengan pendapat dan emosinya.
3. Bertekadlah untuk menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi terjadinya perubahan alkitabiah.
Roma 13:14 berkata, "Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya." Apabila seorang konseli memunyai masalah dengan nafsu, ia harus bertekad untuk menghancurkan semua yang merangsangnya, berhenti menonton acara-acara televisi atau film yang berisi tentang seks, serta menghindari semua tempat yang mendorong timbulnya godaan. Ia harus bersedia menyingkirkan apa pun yang menghalangi terwujudnya perubahan alkitabiah.
4. Kerahkan energi untuk mencapai tujuan tersebut.
Perubahan bukan sesuatu yang terjadi secara otomatis dalam semalam, melainkan merupakan pekerjaan yang sulit. Konseli tidak akan mengalami kemajuan apabila tidak bersedia mengerahkan upaya untuk berubah.
5. Tekunlah dalam mencapai ketaatan.
Ada orang-orang tertentu yang siap mengundurkan diri setelah dua atau tiga minggu tidak melihat adanya kemajuan besar. Oleh sebab itu, konseli perlu diingatkan akan kebenaran dari Ibrani 10:36, "Sebab kamu memerlukan ketekunan, supaya sesudah kamu melakukan kehendak Allah, kamu memperoleh apa yang dijanjikan itu." Berubah itu membutuhkan waktu. Oleh sebab itu, para konseli perlu mengetahui bahwa konselor akan menemui mereka, sekurang-kurangnya enam atau tujuh minggu sebelum menilai kemajuan mereka.
6. Percayakan soal kekuatan dan semua sumber daya-Nya untuk mencapai perubahan pada Tuhan.
Dalam Filipi 2:12-13, Paulus berkata, "Tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar; karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya." Memang benar bahwa orang-orang yang mau mencari perubahan alkitabiah dalam hidup mereka harus berusaha. Namun, mereka harus berusaha memercayakan penyediaan kekuatan dan sumber daya yang diperlukan kepada Kristus. Apabila kita mau berpaling dari diri sendiri dan memercayai-Nya, Ia akan membuat kita mampu melakukan hal yang mustahil. Ia akan memampukan kita untuk memadamkan manusia lama kita yang telah rusak akibat berbagai hasrat yang memperdaya, dan mengenakan manusia baru yang telah diperbarui dalam kebenaran dan kesucian sejati. Apabila konseli berkomitmen untuk mematuhi Kristus dengan sepenuh hati, ia boleh yakin bahwa kuasa Tuhan yang amat besar itu akan menyelesaikan karya-Nya untuk membuatnya berubah.
Agar konseli dapat melakukan komitmennya dengan disiplin, mintalah konseli untuk menuliskan komitmennya. Bantulah mereka memperbaiki komitmen secara teratur agar sesuai dengan kriteria Alkitab. Komitmen ini bisa menjadi sarana konselor untuk menguatkan konseli saat ia mulai goyah. Komitmen tertulis juga dapat berfungsi untuk mengingatkan konseli akan apa yang telah ia janjikan kepada Tuhan.
Diambil dan disunting dari:
Judul asli buku: Introduction to Biblical Counseling
Judul buku terjemahan: Pengantar Konseling Alkitabiah
Judul bab: Konseling Alkitabiah dan Meyakinkan Konseli
Penulis: John F. MacArthur, Jr. dan Wayne A. Mack
Penerjemah: Tim Gandum Mas
Penerbit: Gandum Mas, Malang 2002
Halaman: 327 -- 330
TANYA-JAWAB: MENGAPA KONFRONTASI BEGITU MENAKUTKAN?
Tanya: Mengapa konfrontasi begitu menakutkan?
Jawab: Jawaban termudah bagi pertanyaan ini adalah bahwa sebagai orang berdosa, kita menghabiskan kebanyakan waktu kita untuk bersembunyi dari, berdalih, atau menyalahkan orang lain untuk dosa kita. Alkitab mengatakan, "Manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat." (Yohanes 3:19) Tentu saja ini benar. Orang berdosa (dan itu termasuk kita semua) cenderung merasa tidak nyaman ketika kehidupan mereka diperiksa. Kita cenderung merasa lebih nyaman melihat selumbar di mata sesama kita daripada melihat balok di mata kita sendiri.
Tetapi, yang terjadi sebenarnya lebih daripada itu. Benar, kita takut dengan konfrontasi karena kita tidak suka melihat dosa kita. Kita juga takut dengan konfrontasi karena kita telah melihat perlakuannya yang tidak menyenangkan dan tidak alkitabiah. Ada alasan yang masuk akal bagi ketakutan kita untuk ditegur.
Saya akan menunjukkan beberapa cara ketika agenda konfrontasi kita secara salah dianggap sebagai agenda Tuhan sendiri.
1. Konfrontasi sering mencampuradukkan kejengkelan dan kemarahan pribadi dengan pandangan dan tujuan yang alkitabiah.
Tujuan konfrontasi bukan untuk mengatur agar pendapat kita mendominasi pendapat orang lain, dan bukan agar orang lain "merasakannya" ketika kita telah cukup merasakannya. Konfrontasi biasanya terjadi ketika seseorang telah berdosa, melukai, atau menyinggung orang lain. Tetapi, dalam keadaan seperti ini, prioritas alkitabiah sering kali dikaburkan oleh rasa frustrasi kita terhadap orang yang dosanya telah mengganggu kita. Ia telah membuat kehidupan kita susah. Oleh sebab itu, kemarahan kita merusak masalah yang perlu dibahas, dan konfrontasi itu sendiri diselubungi oleh frustrasi kita.
2. Pengumpulan data yang buruk dapat menimbulkan asumsi yang tidak benar tentang kenyataan, sehingga membuat konfrontasi menyimpang.
Langkah penting pertama dari konfrontasi adalah pengumpulan data. Kita perlu memastikan bahwa kita telah melihat masalahnya dengan tepat. Kita perlu memastikan bahwa yang bersangkutan memang bersalah. Kalau tidak, pandangan yang rusak akan mengaburkan konfrontasi. Kita harus berhati-hati, agar kita tidak mengira bahwa yang kita pikir dan yang telah kita lihat adalah apa yang sesungguhnya terjadi.
3. Konfrontasi sering kali dinodai oleh penilaian motivasi.
Ketika menegur, kita cenderung berbicara bukan hanya tentang apa yang dilakukan orang itu, melainkan juga tentang alasan di balik tindakannya. Sayangnya, ini sering mengakibatkan orang itu disalahpahami dan dituduh secara keliru. Ada saatnya kita benar dalam menunjukkan kesalahan seseorang, tetapi kemudian kita secara tidak tepat menghakimi motivasi orang itu, yang sebenarnya tidak ada! Dalam kasus seperti ini, orang yang dituduh akan melewatkan pesan yang tepat, yang perlu ia dengar.
4. Bahasa yang penuh emosi, kata-kata yang mengutuk, dan nada yang emosional sering kali menodai konfrontasi.
Dalam konfrontasi, suasananya selalu penuh ketegangan. Kata-kata tertentu lebih sering diucapkan sebagai penghakiman yang disertai kemarahan daripada kata-kata teguran yang lembut tetapi tegas, seperti yang diperintahkan Alkitab. Dalam keadaan ini, orang yang dikonfrontasi akan melupakan pesannya, dan mengingat kata-kata dan nada marah yang mengendalikan saat itu.
5. Konfrontasi sering kali bersifat bermusuhan daripada sebagai saat perhatian yang penuh kasih kepada orang yang memerlukan teguran Anda.
Dalam konfrontasi, kita mungkin melupakan siapa kita. Kita mungkin tidak ingat bahwa kita akan persis seperti orang itu jika bukan karena anugerah Allah. Kita sepertinya lupa bahwa sesungguhnya hanya ada satu musuh, dan itu bukan orang yang kita konfrontasi! Tujuan konfrontasi bukanlah untuk melawan orang itu, tetapi untuk berdiri di sisinya demi menunjukkan hal-hal yang Allah ingin dia lihat, akui, dan tinggalkan.
6. Dalam konfrontasi, Alkitab lebih sering dipakai sebagai tongkat pemukul daripada sebagai cermin bagi kesadaran diri dan sebagai pedoman untuk berubah.
Saat menegur, pemakaian Alkitab yang paling penting bukan peringatannya tentang hukuman, tetapi fungsinya yang berkuasa sebagai cermin. Alkitab memampukan orang untuk melihat diri mereka yang sebenarnya. Alkitab mengungkapkan kesalahan, bukan hanya di dalam perilaku seseorang, melainkan juga di dalam hati seseorang. Tujuan utama dari konfrontasi bukan untuk mengancam seseorang dengan penghakiman, melainkan untuk membawanya kepada pertobatan.
7. Konfrontasi sering kali mencampuradukkan pengharapan manusia dengan kehendak Allah.
Tujuan konfrontasi bukan untuk membuat seseorang melakukan apa yang Anda inginkan, atau untuk hidup dengan cara yang menyenangkan Anda. Tujuan konfrontasi bukan untuk membuat orang itu setuju dengan Anda, atau untuk tunduk kepada penafsiran Anda, ataupun untuk mengikuti agenda Anda. Konfrontasi harus selalu memanggil seseorang untuk tunduk kepada kehendak Allah saja.
8. Konfrontasi sering kali terjadi dalam konteks hubungan yang rusak.
Sering kali, telah terjadi hubungan yang rusak antara pihak-pihak yang terlibat sebelum konfrontasi terjadi. Kedua pihak memasuki ruangan sambil merawat luka mereka dan telah merasa agak negatif terhadap pihak lain. Ini mengarahkan konfrontasi ke arah yang salah, bahkan sebelum konfrontasi itu dimulai. Konfrontasi terjadi secara paling efektif dalam konteks hubungan di mana terdapat kasih dan kepercayaan di antara keduanya. Dengan demikian, konfrontasi sungguh-sungguh dapat menjadi "luka yang terus membekas dari seorang teman".
9. Konfrontasi sering kali menuntut perubahan sebagai peristiwa yang segera daripada sebagai sebuah proses.
Dalam konfrontasi, kita sering kali tidak memberikan tempat bagi Roh Kudus untuk bekerja. Alkitab tidak meminta kita untuk mengharapkan seseorang mengalami perubahan total dari hati dan perilakunya setelah satu pertemuan. Bahkan, Alkitab lebih melukiskan perubahan sebagai suatu proses daripada sebagai suatu peristiwa. Kita diharapkan memanggil seseorang untuk tunduk kepada Tuhan dan menaati firman-Nya tanpa memberikan tekanan yang tidak diperlukan, seolah-olah kita dapat melakukan karya Roh Kudus.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul asli buku: War Of Words: Getting to the Heart of Your Communication Struggles
Judul buku terjemahan: Perang dengan Kata-kata: Mengenali Inti Pergumulan dalam Komunikasi Anda
Judul bab: Warga yang Membutuhkan Bantuan
Penulis: Paul David Tripp
Penerjemah: Peter Ivan Ho
Penerbit: Momentum, Surabaya 2004
Halaman: 184 -- 187
STOP PRESS: KUMPULAN BAHAN PASKAH DARI YLSA
Apakah Anda sedang bingung mempersiapkan acara Paskah di gereja, persekutuan, atau komunitas Anda? Yayasan Lembaga SABDA (YLSA) < http://www.ylsa.org > menyediakan sejumlah sumber bahan Paskah pilihan dan alkitabiah untuk membantu Anda menemukan pengetahuan tentang Alkitab dan inspirasi untuk menyambut Paskah.
Kunjungilah situs Paskah Indonesia! Situs Paskah Indonesia < http://paskah.sabda.org/ > memuat segudang bahan menarik seputar Paskah, antara lain artikel, drama, puisi, kesaksian, dan buku. Anda juga bisa menyumbangkan bahan-bahan Paskah karya Anda di situs ini dan membagikannya kepada orang lain. Jika waktu Anda terbatas dan Anda membutuhkan referensi tepercaya seputar bahan Paskah, berbagai link dan daftar kategori di situs mini < http://paskah.co/ > akan menolong Anda menyeleksi bahan-bahan yang Anda butuhkan.
YLSA juga menghadirkan kisah-kisah Paskah dalam bentuk video menarik yang memadukan unsur teks, audio, dan grafis, yang dapat diunduh secara gratis di YouTube < http://youtube.com/user/sabdaalkitab >. Anda juga kami undang untuk berinteraksi dengan anak-anak Tuhan yang lain melalui "sharing" dan diskusi seputar perayaan Paskah di Facebook Paskah < http://fb.sabda.org/paskah >.
Paskah segera datang, jangan menunda lagi. Segeralah kunjungi keempat pranala kami dan dapatkan bahan-bahan Paskah dari YLSA!
Kontak: konsel(at)sabda.org
Redaksi: S. Setyawati, Santi T., dan Doni K.
Berlangganan: subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-konsel/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >